Daerah

Ule Keubeu Meugang dan Leumang Jelang Ramadhan di Negeri Serambi Makkah

Sen, 11 Maret 2024 | 18:00 WIB

Ule Keubeu Meugang dan Leumang Jelang Ramadhan di Negeri Serambi Makkah

Seorang warga Aceh menguliti hewan untuk meugang atau makanan khas menjalang puasa (Foto: Helmi Abu Bakar/NU Online)

Banda Aceh, NU Online 
Meugang atau sering disebut mak meugang merupakan tradisi di negeri Serambi Makkah, Aceh, dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Selain itu ada leumang atau yang sering disebut teut leumang, makanan yang disajikan kepada tamu.


Salah seorang antropolog Aceh Tgk. Muhajir Alfairusy mengatakan dalam tradisi masyarakat Aceh, meugang ditandai degan dua hal, yakni daging dan lemang. Setiap hari meugang tiba, orang Aceh disuguhkan dengan kesibukan di pasar daging. Biasanya, lembu dan kerbau menjadi hewan khusus meugang, meskipun ada juga yang menyembelih ayam atau bebek," katanya kepada NU Online, Ahad (10/3/2024).  


Pengurus Lakpesdam PWNU Aceh itu menyebutkan kebiasaannya saat tiba meugang Ramadhan, masyarakat Aceh juga membuat leumang dari beras ketan (teut leumang). Tradisi untuk membuat leumang tersebut sudah turun-temurun sejak dahulu. Jika leumang itu tidak ada, maka meugang tersebut terasa tidak lengkap walaupun ada daging.


Sesuatu yang khas dan mungkin tidak terdapat di daerah lain di hari meugang, menurutnya, adalah lemang. Orang Aceh menyebutnya leumang yakni penganan khas Aceh yang dibuat dari beras ketan dimasak dalam bambu tipis.


Membuat leumang, kata antropolog lulusan UGM itu, harus mempersiapkan beberapa bahan, di antaranya beras ketan, daun pisang, bambu serta santan kelapa. Setelah bahan itu lengkap, selanjutnya leumang dipanggang dengan api, dan dijaga agar tidak hangus.


"Menunggu matangnya leumang yang dipanggang dengan api, membutuhkan waktu hingga dua jam. Untuk melengkapi acara meugang, dia rela berpanas-panasan dekat api,'' ulasnya.


Leumang, menurut dosen STAIN Tgk Dirundenng, juga menjadi menu wajib seorang pengantin baru yang perdana meugang dibeli bersamaan dengan daging sapi atau kerbau saat meugang.


"Fenomena itu sangat kental di kawasan Aceh terutama Pidie. Seorang pengantin baru menu leumang plus daging meugang harus ada. Tentunya leumang sebagai tradisi, hingga kini tak ada yang melarang budaya ini. Sebagian besar, mengaku tetap akan meneruskan tradisi nenek moyang mereka," paparnya.


Tgk Muhajir menguraikan dalam adat Aceh bagi linto baro (pria yang baru menikah), meugang pertama di rumah mertua harus membawa pulang daging khusus atau daging istimewa yaitu kepala lembu atau kepala (Aceh= ulee leumo atau ulee keubeu) kerbau ke rumah keluarga dara baro (istri ) Meskipun, saat ini kepala sapi atau kerbau sudah banyak diganti dengan daging dada sapi atau dada kerbau.


"Fenomena membawa pulang daging istimewa itu, secara adat bukan dilakukan sendiri oleh linto baro. Melainkan dibawa oleh penghubung yang di Aceh disebut seulangke. Pada dasarnya tugas seulangke di Aceh khususnya di Aceh Barat Selatan juga kawasan lainnya adalah penghubung antarkeluarga, mulai dari mereka meminang dara baro, biasanya sampai si pengantin itu lahir anak pertama (satu tahun setelah menikah)," sambungnya 


Meskipun linto baro tinggal di rumah mertua, Tgk Muhajir mengatakan biasanya negosiasi hal-hal yang berkaitan dengan adat dilakukan oleh seulangke. Seulangke itu biasanya orang-orang yang dituakan di kampung.


"Sebenarnya bila mengikuti adat, dua atau satu Minggu menjelang puasa, seulangke telah terlebih dahulu mengirim kepada rumah dara baro berupa beras barang 5 bambu, beras ketan 5 bambu, gula pasir atau manisan, minyak makan dan sejumlah buah kelapa tua termasuk bumbu masak. Ini pertanda bahwa pihak linto baro akan melakukan tradisi bawa kepala sapi atau kerbau. Baru hari meugang (dua hari) menjelang puasa, si seulangke membawa ulee leumo atau ulee keubeu ke rumah dara baro," ulasnya.


Sosok yang giat menggali kembali adat dan budaya di negeri Serambi Makkah dalam dunia literasi dan penelitian itu sangat berharap generasi muda di era digital seperti saat dapat terus melestarikan adat dan budaya yang telah diimplementasikan turun menurut oleh endatu (pendahulu).


"Mari kita rawat dan lestarikan adat dan budaya Aceh terlebih keberadaan adat istiadat dan budaya dengan syariat Islam dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan dan menyatu dengan masyarakat Aceh," pintanya