Daerah

Syawalan Ekonomi UNU Yogyakarta Bahas Dilema Suku Bunga BI

NU Online  ·  Rabu, 27 Juni 2018 | 00:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta menggelar Syawalan 1439 dengan dibarengi diskusi internal bertajuk Dilema Suku Bunga Bank Indonesia.

Acara tersebut diselenggarakan berawal dari kegelisahan atas kenaikan suku bunga acuan bank central Amerika Serikat The Fed yang mulai direspons cepat oleh pemerintah dan otoritas moneter dalam negeri. Dalam sisi moneter, Bank Indonesia (BI) telah mengambil sikap dengan menaikkan suku bunga acuan. Bahkan dalam satu bulan, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali.

"Kenaikan suku bunga acuan 7Days Reverse Repo Rate (7 DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen dilakukan pada 17 Mei lalu. Kemudian disusul kenaikan kedua, sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen dilakukan Rabu (30/5)," jelas Anik Puji Handayani, kepala Program Studi Akuntansi UNU Yogyakarta di lokasi acara, Rumah Limasan UNU Yogyakarta, Senin (25/6).
  
Akan tetapi, lanjut Anik, dampak pertama yang akan terasa dari kenaikan suku bunga acuan yakni biaya dana bank akan meningkat termasuk suku bunga pinjaman (kredit) juga meningkat. Industri perbankan dan industri pasar modal juga akan terkena imbas. Dikarenakan kenaikan tingkat suku bunga berdampak pada turunnya net interest margin perbankan dan pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan kredit di 2018 akan susah untuk mencapai 9-10 persen.

"Ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi untuk mencapai di atas 5,2 persen," ungkapnya.

Depresiasi rupiah jika berlebihan pada 2018 akan memperburuk neraca perdagangan. Ekspor juga akan turun sehingga PDB akan tertekan."Apalagi industri ekspor Indonesia sangat tergantung pada impor bahan baku dan barang modal. Bahkan impor 90% terdiri atas bahan baku dan barang modal. Ketika impor turun, karena depresiasi rupiah, maka ekspor juga akan turun,” paparnya.

Bambang Arianto, pengamat ekonomi UNU Yogyakarta mengatakan dampak lainnya pada pasar saham bisa memicu biaya pinjaman yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan para investor asing di pasar modal akan keluar untuk memperoleh yield yang meningkat di Amerika Serikat, sehingga dapat memicu investor asing akan keluar dan rupiah kembali tertekan.

Bambang menilai langkah Bank Indonesia melakukan kenaikan suku bunga untuk mengatasi dilema ini sudah tepat. Terutama sebagai upaya menjaga stabilitas ekonomi dari gejolak eksternal. "Agar dampak kenaikan suku bunga tersebut terhadap perlambatan ekonomi bisa diminimalisir, pemerintah harus aktif mengeluarkan paket kebijakan terutama bagi perbankan agar dapat melakukan upaya efisiensi biaya, fokus pada dana murah alias current account and saving account (CASA) serta menjaga kualitas kredit,” ujar Bambang.

Pemerintah juga harus tetap melakukan kebijakan yang pre-emptive untuk menangkal efek negatif dari tren kenaikan bunga AS, yang akhirnya menular pada pengetatan moneter global. Pasalnya, Indonesia masih sangat mengandalkan investor global untuk pembiayaan defisit anggaran. Tidak lupa, tetap diperlukan kebijakan jangka pendek dari sisi moneter seperti memberikan pelonggaran kebijakan makro-prudensial. Sekaligus kebijakan jangka menengah dan panjang seperti mendorong kegiatan ekspor melalui produk manufaktur dan pariwisata.

"Dengan demikian, kenaikan BI rate bisa menjadi angin segar bagi upaya mempertahankan citra ekonomi Indonesia di mata investor,” tutup Bambang. (Red: Kendi Setiawan)