Daerah

Sikap Radikal Timbul karena Nihil Adab dan Akhlak

NU Online  ·  Jumat, 8 April 2016 | 11:01 WIB

Cirebon, NU Online
Diantara rangkaian Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren Cirebon, pihak panitia menyoroti masalah radikalisme dan terorisme yang dikemas dalam kegiatan 'Halaqah Deradikalisasi' yang digelar di Aula YLPI Buntet Pesantren Cirebon, Rabu (6/4).

KH Tubagus Ahmad Rifqi Chowas, salah seorang pembicara mengungkapkan bahwa paham radikalisme dipelopori oleh Abdurrahman bin Muljam yang kemudian melahirkan kelompok Khawarij.

"Radikalisme merupakan perpanjangan dari paham Khawarij di mana Abdurrahman bin Muljam, dan kawan-kawannya membantai Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali, padahal Abdurrahman bin Muljam ini seorang ahli ibadah berjidat hitam dan hafal al-Qur'an," papar pengasuh Asrama Darussalam itu

Namun, lanjut dia, Abdurrahman bin Muljam tidak mendahulukan adab dan akhlak diatas yang lain sehingga menghilangkan sikap toleransi kepada pendapat lain bahkan yang lebih dominan.

Ia menambahkan, kelompok radikal tidak mempunyai kesadaran berpikir dan menghayati al-Qur'an dan hadits dengan hati nuraninya sehingga kedua sumber ajaran Islam tersebut hadir hanya sebatas tenggorokan saja.

"Ngaji itu bukan sekadar fiqih dan tafsir atau ilmu alat saja, tapi juga harus memperdalam tasawuf dan berthariqah mu'tabaroh, ini yang tidak ada dalam kelompok radikal," tegasnya.

Sementara itu, Kang Entus yang hadir dalam kesempatan tersebut mengatakan, ada sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa dzikrullah dan bergaul dengan para auliya dan ulama itu jauh lebih afdhal dibanding angkat senjata ketika terjadi peperangan melawan musuh atau dalam kondisi Darul Harbi apalagi zaman sekarang.

Ia pun menyarankan kepada para santri untuk terus memperdalam ilmu agama Islam, karena untuk menanggulangi radikalisme yang paling urgen adalah thalabul ilmi, agar memperoleh ajaran Islam secara utuh.

Selain Ki Entus, dalam kegiatan yang bertema Kontekstualisasi Konsep Jihad dalam Bingkai Keindonesiaan tersebut diisi oleh Direktur Fahmina Institute, KH Marzuki Wahid, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) Ahmad Junaidi serta Kapolsek Astanajapura AKP Abdul Kholik. (Aiz Luthfi/Fathoni)