Daerah

Setiap Ibadah Ada Dimensi Lahir dan Batinnya

NU Online  ·  Selasa, 23 Juli 2013 | 21:01 WIB

Yogyakarta, NU Online
Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan aspek batin atau hakikat tanpa memerdulikan aspek lahir (dhahir) atau syari’at sama sekali. Sebaliknya, Islam juga bukan agama yang hanya memprioritaskan aspek lahir atau syari’at tanpa memperhitungkan aspek batin atau hakikat.<>

Dalam Islam, setiap ibadah memiliki kedua aspek tersebut. Demikian disampaikan Imam Mukhsin, salah satu ketua majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) di Kota Yogyakarta itu, kemarin, Ahad (21/7) lalu di Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga.  

“Apapun bentuk ibadahnya, kita usahakan untuk melaksanakan kedua aspek ini. Tidak bisa lahiriyah saja, atau batiniyah saja,” papar direktur Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga  ini.

Terkait dengan hal itu, pihaknya menyitir kisah Hatim Al-A’sham, seorang sufi yang ditanya oleh salah satu muridnya, Ashim bin Yusuf.

“Pada suatu hari, Ashim bin Yusuf bertanya pada gurunya. ‘Ya Syekh, bagaimana Anda shalat?’ Hatim menjawab, ‘saya shalat diawali dengan dua wudlu’, wudlu’ lahir dan wudlu’ batin,’” tutur Imam.

Kepada para hadirin, pihaknya menjelaskan bahwa wudlu’ dhahir adalah wudlu’ yang dipaprkan dalam ilmu Fiqih. Sedangkan wudlu’ batin yang dilakukan oleh Hatim, ungkapnya, meliputi beberapa hal.

“Yang pertama, Beliau selalu menyesali berbagai kesalahan, atau an-nadamah,” ungkapnya.

Selanjutnya, Imam memaparkan, hal kedua yang dilakukan oleh Hatim yaitu bertaubat. Dalam hal ini, pihaknya mengartikan taubat dengan sebuah upaya untuk mengahiri dosa yang pernah dilakukan dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukannya lagi.

“Yang ketiga, meninggalkan cinta dunia. Sebab cinta dunia menjadi sumber kesalahan. Seperti korupsi, membunuh, merampok dan sebagainya itu karena cinta dunia,” ujarnya.

Ia melanjutkan, yang keempat yaitu meninggalkan cinta pada kekuasaan. “dalam Islam, kekuasaan adalah amanah. Tapi cinta pada kekuasaan adalah penyebab kesewenang-wenangan,” tuturnya.

Kelima yaitu meninggalkan cinta akan pujian. Yang keenam, meninggalkan rasa dendam. Yang terakhir, meninggalkan rasa dengki.




Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Nur Hasanatul Hafshaniyah