Daerah

‘Seseorang Terkadang Harus Dipaksa untuk Menjadi Baik’

Jum, 23 Agustus 2019 | 12:00 WIB

‘Seseorang Terkadang Harus Dipaksa untuk Menjadi Baik’

Habib Hasan bin Ismail al-Muhdhor (dua dari kiri) saat menjadi pengasuh pengajian kitab Qobasun Nuril Mubin min Ihya’i Ulumiddin dalam Pengajian Majelis Al-Muwashalah di Masjid Baitunnur kompleks Pesantren Nuris Antirogo, Sumbersari, Jember Jawa Timur, Kamis (22/8).

Jember, NU Online 
Akhlak  yang baik menjadi idaman semua orang yang ‘waras’. Namun tidak semua orang bisa mendapatkannya. Sebab untuk meraih akhlak yang mulia terkadang dibutuhkan usaha  yang sungguh-sungguh, dan bahkan takalluf (dipaksa).
 
Demikian disampaikan oleh Habib Hasan bin Ismail Al-Muhdhor saat menjadi pengasuh pengajian kitab Qobasun Nuril Mubin min Ihya’i Ulumiddin dalam Pengajian Majelis Al-Muwashalah di Masjid Baitunnur Kompleks  Pondok Pesantren Nuris Antirogo, Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Kamis (22/8).
 
Seraya mengutip kalimat dalam kitab tersebut, Habib Hasan menegaskan bahwa akhlak yang baik bisa didapat dengan dua cara. Pertama, dari Allah langsung. Bila diibaratkan, orang model pertama ini menjadi baik ‘dari sananya’, tanpa ada pengajaran kepadanya.  
 
“Ada orang yang sejak kecil punya kelebihan, misalnya dia sopan bukan main, rendah hati, besar sedikit ahli shalat, dan sebagainya. Padahal dia tidak ada yang mengajari secara serius. Dia ahli ibadah hingga jadi orang yang dekat kepada Allah. Itu namanya bijudin ilahi, murni karena karunia Allah. Itu tidak bisa ditiru,” ujarnya.
 
Kedua, berkat usaha yang dilakukan (bi mujahadah). Yaitu yang bersangkutan harus berusaha sungguh-sungguh untuk mempunyai perangai yang baik, akhlak yang terpuji, dan sebagainya. Contohnya, untuk menjadi dermawan maka seseorang harus belajar memberi sampai akhirnya menjadi kebiasaan. 
 
“Tak peduli apakah awalnya ingin dipuji orang, atau karena terpaksa. Tidak masalah. Yang penting dilakukan dulu. Sesuatu itu menjadi biasa karena awalnya dipaksa, dipaksa dan dipaksa” ucapnya.
 
Demikian juga untuk menjadi orang  yang tawadhu. Itu bukan lah sesuatu yang gampang lantaran kesombongan selalu hinggap di hati manusia. Namun demikian, sikap tawadhu harus diusahakan dengan serius. Dikatakan Habib Hasan, seseorang harus melatih dirinya untuk menghormati orang lain dan merendahkan hati di hadapan siapa pun.
 
“Tidak  peduli juga apakah awalnya kita menghormati orang karena malu atau bahkan ingin sesuatu, tidak masalah. Yang penting latihan untuk jadi orang tawadhu. Tidak masalah orang lain pada bilang sok alim, sok kiai, dan sebagainya. Latihan terus sampai kita malu kepada diri sendiri kalau tidak rendah hati,” urainya.
 
Mengutip keterangan dalam sebuah kitab, Habib Hasan menjelaskan hakikat tawadhu adalah ‘Kamu senang di belakang padahal posisi kamu di depan’. Intinya, tawadhu tidak merebut  dan butuh posisi. Ia rela diposisikan di mana saja asal dekat dengan Allah.

Pewarta: Aryudi AR 
Editor: Muchlishon