Semarang, NU Online
Semangat mengabdi dan rasa cinta yang kuat di dalam dada, itulah modal menjadi guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Menuruti panggilan hati, hanya ingin memberi dan menyayangi, itulah motivasi yang mendorong para wanita ini mendidik anak-anak kecil di lingkungan rumah mereka.
Melalui lembaga yang diberi nama Pendidikan Anak Usia Dini ini, wanita-wanita perkasa ini setiap hari mengasuh bocah-bocah ingusan anak para tetangga. Tangan-tangan lembut mereka yang telah kehabisan energi mengerjakan urusan domestik, seolah penuh daya kala berjumpa dengan anak-anak didik mereka. Riang gembira dan serba senang.
Di ruang-ruang sempit berdinding triplek atau ruang terbuka tanpa dinding yang disergap bau banger sungai maupun sampah busuk, kaum ibu muda maupun tua itu terlihat sumringah menyapa anak-anak yang dititipkan orang tua mereka karena ditinggal bekerja atau ditinggal mati kala masih bayi.
Bocah-bocah cilik yang polos itu diajak bernyanyi, bergembira bersama. Bermain dan berdendang, melompat dan berenang. Juga diajak mengeja, mengaji dan berdoa.
Mereka dibimbing dengan sabar dan telaten, agar bisa berkata baik dan sopan, menghormati guru dan menyayangi teman. Juga diajari mengenal diri sendiri dan lingkungan, dilatih mandiri mulai cebok sampai mandi, dari cara bersuci hingga tidur kala sendiri.
Perempuan-perempuan cantik yang banyak di antaranya bergelar sarjana, itu sama sekali tak canggung menyeka air mata anak didik yang menangis, atau mengelap umbel (ingus) yang terus meler dari hidung muridnya, bukan dengan tisu atau kain serbet, melainakn dengan telapak tangan atau kulit tangan mereka.
Tentu saja, sangat sering tangan-tangan mulus yang dilingkari gelang emas atau jam tangan mewah, itu digunakan untuk nyewoki murid-murid yang beol atau kencing di celana. Mata lentik dan pipi ranum mereka tak terhitung terkena percikan pasir atau lempung atau cat air dari siswa-siswi mereka yang bermain atau belajar seni rupa.
"Ayo anak-anak. Sini kumpul di samping Bunda. Mari kita bermain mewarnai kerang dan mencampur warna," ucap Indria Fajar Rini menyebut dirinya bunda, seraya melambaikan tangannya kepada para murid-murid TK PGRI 118 Genuksari Semarang tempat ia mengabdikan diri sepenuh jiwa dan raga.
Wanita cantik beranak dua ini langsung bergoyang-goyang tubuhnya karena dikerubuti para muridnya yang berebut ingin mendekat padanya. Badannya yang langsing serta-merta tak kelihatan karena dirubung begitu banyak bocah di rumah orang tuanya yang dijadikan TK tersebut.
Ramai sekali suara anak-anak didiknya ketika Bunda Rini (panggilan akrabnya) menyodorkan sebuah nampan kotak berisi kulit kerang dan beberapa botol kecil cat air dan kuas. Bunda Rini sigap menertibkan anak-anak itu agar tidak berebut. Lantas ia mengajari mereka cara mewarnai dengan kuas serta mengatur agar semua bisa mengantri untuk dapat kesempatan satu per satu.
Tak jauh darinya, sang ibu, Wartini, mengajak anak-anak didiknya bermain pencampuran warna melalui media air dalam rangkaian botol berpipa yang dibuat tiga tingkat sedemikian rupa.
Ibu dan anak kandung yang sama-sama menyenangi momong anak, ini setiap hari mengasuh tak kurang 41 anak para tetangganya. Sebagian di antaranya dititipkan orang tua mereka hingga sore hari.
Sebuah rumah sederhana berdinding kayu dan tripleks yang dibuat bersama sang suami, dipersembahkan untuk pendidikan anak usia dini yang menurutnya adalah bekal terbaik mencari ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia dan suami rela tidur di kamar sempit di ruang paling belakang rumahnya, sebab hampir seluruh ruang di rumahnya itu dijadikan sebagai tempat belajar anak-anak TK yang dia lekatkan pada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sementara anaknya, Rini bersama suami dan anak mereka, rela mengontrak rumah di dekat rumah ibunya itu dan setiap hari ikut mengasuh anak-anak di TK milik ibundanya tersebut.
"Alhamdulillah, kami sekeluarga mendapat anugerah bisa mengasuh dan mendidik anak-anak di lingkungan sini. Ini kesempatan mencari ridho Allah Ta'ala," tuturnya berbinar-binar penuh bahagia.
Senada dengan Rini dan Wartini, Eko Riyanti dan Sumiyati menyatakan, menjadi guru TK, memberi pendidikan untuk anak usia dini, sungguh membahagiakan. Menurut keduanya, hati selalu diliputi rasa syukur dan pengharapan indah kepada kasih sayang Tuhan.
"Hanya kebahagiaan yang saya rasakan. Sungguh rasanya selalu dekat dengan Tuhan apabila berkumpul anak-anak kecil yang mereka ini pemilik masa depan," tutur Eko Riyanti yang mengabdikan diri untuk TK-TK di kampung nelayan Bonang, Demak sejak masih remaja.
Wanita energik pandai menyanyi yang suka menyebut dirinya Macan Ternak (Mama Cantik nganTer Anak) ini mengaku sangat bangga pada suaminya karena mendukung penuh kiprah dia menjadi guru PAUD hingga memimpin HIMPAUDI tingkat kecamatan.
Di balik istri yang ikhlas mengabdi di PAUD, pasti ada kerelaan dari suami. Sebab istri pasti tidak bisa sepenuhnya mengurus rumah dan ngopeni anaknya sendiri, juga kehilangan kesempatan bekerja profesional untuk membantu suami mencari rezeki. Karena memang tak ada imbalan materi yang bisa diharap dari lembaga PAUD.
Itulah yang dikatakan Sumiyati mendukung pernyataan Eko Riyanti. Guru TK Ceria Kecamatan Mranggen Demak ini mengungkapkan, di balik setiap istri yang rela jadi guru TK, pasti ada suami yang luar biasa pengertiannya.
"Pepatah lama, di balik suami yang sukses ada istri yang setia mendampingi, kalau bagi kami, di balik istri yang mengabdi di PAUD, pasti ada suami yang penuh pengertian. Hahaha," terang ibu muda cantik ini sambil tertawa. (Ichwan/Abdullah Alawi)