Daerah

Santriwati ini Diminta Sang Ayah Tekuni Ilmu Hukum

Kamis, 17 Juli 2014 | 13:32 WIB

Probolinggo, NU Online
Sosok Khusnul Hitaminah termasuk santriwati yang punya karir lumayan cemerlang. Selain menjadi dosen plus Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Zainul Hasan (Zaha) Genggong, ia juga menjadi notaris dan pejabat pembuat akta tanah di Kabupaten Probolinggo.
<>
Tidak susah untuk bisa bertemu Khusnul Hitaminah. Saat hari aktif kerja, mulai pagi sampai siang ia bisa ditemui di kantor notarisnya yang terletak di Kelurahan Semampir Kecamatan Kraksaan. Sore harinya, ia bergeser di STIH Zainul Hasan yang letaknya bersebelahan dengan kantor notarisnya.

Selain menjadi seorang notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Ning Khusnul juga tercatat sebagai seorang akademisi. Sejak 1998, ia sudah mengajar di STIH Zainul Hasan. Bahkan sejak 2013, ia sudah diberi amanah menjadi Ketua STIH Zainul Hasan.

Meski merupakan putri dari salah satu Pengasuh Pesantren Zainul Hasan (Zaha) Genggong, Khusnul menceritakan posisi yang didudukinya saat ini didapatkan mulai dari nol. “Saya mulai dari nol. Saya pernah menjadi asisten dosen, dosen, pembantu ketua II, pembantu ketua I. Jadi nggak ujug-ujug jadi ketua STIH,” ujar putri ke-6 mendiang KH. M Hasan Saifurridzal, salah satu pengasuh Pesantren Zaha Genggong dari istri Aisyah Multazamah ini.

Justru Khusnul menyebut, peran almarhum ayahandanya paling terlihat di karirnya sebagai seorang notaris dan pejabat pembuat akta tanah. Sang ayahlah yang memilihkan jalan untuknya agar terjun di dunia hukum.

Diceritakan Khusnul, ia awalnya justru lebih tertarik pada dunia politik ketimbang dunia hukum. “Saya itu suka dengan dunia politik, tapi enggan masuk ke dunia politik praktis,” kenangnya. Khusnul pun sempat memilih jurusan sosial-politik (sospol) saat awal kuliah di STIH Zainul Hasan pada 1990 silam.

Namun, ia hanya bertahan dua semester di jurusan sospol tersebut. Jelang berakhirnya semester kedua, sang ayahanda meminta Khusnul pindah ke jurusan hukum. “Usai mendapat perintah itu, saya tidak bertanya lagi. Sebagai seorang santri, saya pun sami’na waato’na dengan perintah ayah,” ungkapnya.

Tiada disangka, keputusan sang ayah tersebut ternyata membawa perubahan yang cukup besar bagi Khusnul. Sebab, ia justru seperti menemukan dunianya di jurusan hukum tersebut. Khusnul pun kini baru tahu bila keputusan ayahandanya itu telah dipertimbangkan masak-masak.

Sang ayah rupanya sudah mempertimbangkan kemampuan Khusnul sejak jauh-jauh hari. “Mungkin titah dari ayah itu (pindah ke jurusan hukum) merupakan sinyal untuk masa depan saya,” kenangnya.

Di jurusan hukum, Khusnul mengaku nyaris tidak terlalu mendapat banyak kendala. Ia justru merasa enjoy. Usai lulus dari STIH, ia pun memilih melanjutkan studinya ke program notaris di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 1998-2001.

Saat masih sekolah kenotarisan, Khusnul juga mulai mengajar di STIH dengan menjadi asisten dosen tidak tetap. Dua tahun berselang atau persisnya pada 2003, Khusnul mulai membuka kantor notarisnya di Kecamatan Kraksaan.

Meski sudah membuka kantor notaris, Khusnul tetap concern melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 2004, ia pun melanjutnya studi pascasarjananya di Universitas Putra Bangsa (UPB) di Surabaya selama setahun.

Setelah itu, karir Khusnul sebagai notaris dan akademisi pun berjalan beriringan. Pada 2008, ia sudah menjadi pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Di bidang akademisi, karirnya pun terus menanjak. Usai dipercaya menjadi pembantu ketua II dan pembantu ketua I, sejak 2013 ia diberi amanah menjadi Ketua STIH Zainul Hasan untuk menggantikan posisi H. Djazim Maksum.

Sebagai Ketua STIH, kini Ning Khusnul (panggilanya) punya target untuk mengembangkan kampusnya. Salah satu terobosannya adalah, menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk praktek kerja lapangan mahasiswanya. Saat ini kampus setempat juga tercatat sudah menjalin kerja sama dengan jaringan komersial melayu asal Malaysia untuk tempat praktek kerja lapangan mahasiswanya.

Dari sisi target pribadi, Khusnul dalam waktu dekat ini bertekad melanjutkan studinya di S3. Bagi Khusnul, menjadi wanita karir adalah nilai plus. “Kalau perempuan menjalankan pekerjaan rumah tangga, itu memang sudah semestinya dan wajib. Nah, bila perempuan punya pendidikan tinggi, maka jadi nilai plus,” bebernya.

Meski begitu, sebagai seorang wanita karir Khusnul menyebut tidak boleh melupakan keluarga. Lantaran itu, ketika libur akhir pekan, Khusnul selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Ia selalu memberikan perhatian kepada kedua anaknya, Ratu Najwa dan Raja M. Ibrahim. “Karena saya hobi traveling, paling sering ya jalan-jalan saat liburan,” jelasnya.

Menurut Khusnul, memberi perhatian kepada buah hati adalah hal penting. Terlebih sejak 2008, Khusnul menjadi single parent. Lantaran itu, perhatian kepada anak-anaknya harus tetap tercurahkan, meski pekerjaan di kantor cukup padat.

“Bagi saya, anak sangat penting. Anak adalah aset dunia-akherat. Karena itu, mendidik anak sangat penting agar mereka kelak jadi anak yang salih dan salihah,” bebernya.

Selain hari libur, momentum Ramadhan seperti saat ini dijelaskan Khusnul juga jadi momen yang pas untuk merekatkan keluarga. “Sebab, di keluarga kami ada tradisi sambang-menyambangi. Baik saat buka maupun sahur bersama selama Ramadhan,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)