Daerah

Santri dan Masyarakat Harus Menerima Perbedaan

NU Online  ·  Rabu, 30 Mei 2018 | 05:30 WIB

Indramayu, NU Online
Pondok Pesantren Cadangpinggan Indramayu Jawa Barat dan Komunikonten mengadakan Tausiyah Kebangsaan dengan tema Santri Melawan Hoaks dan Penyalahgunaan isu SARA untuk Keutuhan NKRI

Kegiatan ini diselenggarakan di Pesantren Cadangpinggan dengan pembicara KH Buya Syakur Yasin, pemimpin pesantren setempat, Senin (28/5) 
 
Dalam ceramahnya, Buya Syakur Yasin mengatakan bahwa perbedaan di dunia ini, baik beda bahasa, suku, agama, bangsa, budaya, warna kulit dan lain-lain menunjukan kebesaran Allah SWT. “Maka siapa yang tidak bisa menerima perbedaan dengan ikhlas berarti menolak kebesaran Allah SWT,” katanya di hadapan ratusan santri dan warga sekitar pesantren.
 
"Dari perbedaan tersebut, para pendiri Indonesia berfikir keras dan berhasil merumuskan Pancasila,” ungkapnya. 

Ideologi itu seperti tanaman, yang cocok di tanah Indonesia adalah Pancasila bukan yang lain. “Bangsa Indonesia sudah punya Pancasila yang relevan hingga kapan pun. Kita tidak boleh mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa berupa Pancasila ini,” jelasnya. Dan tugas santri adalah menjaga Pancasila dan NKRI hingga akhir zaman, lanjutnya.
 
Mengenai masih maraknya hoaks, fitnah, ujaran kebencian dan penyalahgunaan isu SARA atau atau suku, agama, ras dan antar golongan, KH Buya Syakur Yasin menyampaikan kisah manusia yang ditempatkan di neraka bersama para pembunuh. Ia kemudian protes karena tidak pernah membunuh satu nyawa pun selama di dunia. 

“Malaikat menjawab bahwa engkau memang tidak pernah membunuh, namun akibat dari perkataanmu, akibat dari fitnah yang engkau sebarkan, banyak orang saling bunuh,” katanya.
 
Dalam pandangannya, SARA jika disalahgunakan untuk kepentingan politik dapat menyebabkan konflik dan perang yang panjang. “Perang yang terjadi di beberapa negara salah satunya disebabkan maraknya berita bohong dan penghinaan terhadap SARA," tambahnya.
 
Menurutnya, Islam datang dengan tauhid sehingga membuat manusia setara. Dan kesetaraan itu adalah syarat utama persatuan. “Karenanya, kita harus memandang semua manusia sama, tanpa membeda-bedakan latar belakang,” harapnya.
 
Sementara itu, Hariqo Wibawa Satria dari Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) menjelaskan bahwa ber-NKRI bukan untuk 100 tahun saja, tapi untuk selamanya. 

“Ibarat bangunan, jika kita ingin bangunan NKRI ini kokoh hingga kiamat tiba, kuat dari gempa bumi, maka salah satu caranya adalah dengan membangun fondasi persatuan yang kokoh,” jelasnya. Apa yang dilakukan Komunikonten meskipun kecil, merupakan bagian dari gotong-royong besar untuk memperkokoh fondasi persatuan tersebut, lanjutnya.
 
"Meskipun bangsa Indonesia mempunyai kekeluargaan dan modal sosial yang kuat, namun jika terus-menerus dihantam hoaks dan penyalahgunaan isu SARA, maka lama kelamaan akan rapuh juga,” jelasnya. Oleh karenanya, kampanye dan pendidikan media harus terus dilakukan demi kemajuan dan keutuhan NKRI, lanjutnya.
 
Hariqo menambahkan, kegiatan juga bertujuan agar konflik yang terjadi di beberapa negara tidak terjadi di Indonesia. Menurut Hariqo, semua negara saat ini perang menghadapi hoaks seperti di Jerman, Malaysia, Inggris dan negara-negara di Timur Tengah. 

“Berbagai upaya melawan hoaks, kampanye hitam, penyalahgunaan SARA bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan di seluruh dunia,” urai alumnus pascasarjana Universitas Paramadina Jurusan Diplomasi Internasional ini. Karena semua negara memiliki kepentingan nasional yang sama, yaitu ingin keutuhan negaranya terjaga, ingin warganya rukun, ingin negaranya maju.
 
Perang proxy di Timur Tengah, dalam pandangannya salah satunya disebabkan antisipasi terhadap kabar-kabar bohong yang beredar di masyarakat. “Logika sederhananya, negara kuat pasti sulit dipecah belah, sedangkan negara lemah mudah diadu domba antar-warganya, tandasnya. (Red: Ibnu Nawawi)