Daerah

Salman ITB Hadirkan Islam Kewargaan

NU Online  ·  Rabu, 28 Januari 2015 | 05:00 WIB

Bandung, NU Online
Pengurus Salman ITB (Institut Teknologi Bandung), Budhiana Kartawijaya berpandangan, saat ini aktivitas-aktivitas gerakan muda Islam mestinya tidak terkonsentrasi urusan politik-pratis semata, melainkan perlu mengarah pada tindakan konkret untuk menjawab persoalan sektoral.
<>
Salman ITB merupakan sebutan untuk sebuah organisasi di Masjid ITB, masjid kampus setempat. Salman ITB kerap dikenal sebagai basis kelompok Islam eksklusif.

"Saya melihat saat ini banyak kegiatan gerakan Islam terkonsentrasi ke urusan politik praktis, sehingga jarang aktivis yang hadir dalam agenda-agenda publik. Di perkotaan misalnya, saat warga kota rindu akan hutan kota, taman kota, atau tentang indeks kebahagiaan warga kota, agama tidak hadir di sini. Islam tidak menjadi agama warga (civic-religion)," ujar Budhiana, Senin (26/1).

Budhiana adalah aktivis senior pengurus Salman ITB yang selama ini mengembangkan gerakan Islam inklusif dan transformatif. Dalam lima tahun terakhir, ia bersama teman-teman seniornya lainnya bahu membahu menghidupkan kegiatan ke-Islaman di kalangan generasi muda Islam Salman ITB agar lebih berpikir kritis dan tidak terjebak pada gerakan Islamisme yang acuh pada problematika kehidupan rakyat sekitarnya.

"Persoalan-persoalan warga perkotaan sepanjang pengamatan seringkali diselesaikan kelompok netizen, dan komunitas budaya lokal.  Sementara Politik Islam tidak hadir mengatasi persoalan problematika umat. Di Bandung misalnya, karena konsentrasi gerakan Islam di kampus dan ormas yang lebih suka ke urusan politik praktis, menjadikan Islam terasing dari kehidupan konkret," paparnya.

Budhiana melihat Islam-Politik di Indonesia mengalami banyak kegagalan. Karena itu ia ingin mendorong sebuah gerakan Islam kewargaan, civic-Islam yang kuat dan membumi. Mengingat Indonesia merupakan Negara berbasis republikan dan apa yang dilakukannya terkait dengan ruang publik perkotaan, maka ia mengambil basis epistemologi baru dengan paradigma gerakan civic-Islam.
 
Ia berharap bahwa Islam warga, yaitu warga perkotaan atau civic itu berkembang melalui basis teritorial, di mana masjid sebagai pusatnya. Masjid harus menjadi pusat yang mewarnai teritorial ini.

“Jangan sampai jamaah masjid itu orang-orang kaya, berpakaian bagus, bermobil mewah, hobi umrah berulang kali, akan tetapi tidak mampu menyelesaikan persoalan warga seperti menyediakan air bersih, misalnya, yang merupakan hak dasar warga. Masjid harus menjadi penghubung bagi jemaah-jemaah yang punya potensi berkontribusi kepada warga, Papar Mantan Pemimpin Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat Jawa Barat itu.  (Yus Makmun/Mahbib)