Daerah

Relasi Sains dan Agama Ciptakan Peradaban Baru

Sab, 4 September 2021 | 11:00 WIB

Relasi Sains dan Agama Ciptakan Peradaban Baru

Ilustrasi: Sains dan agama perlu berkolaborasi untuk menciptakan peradapan baru, tanpa mengasingkan salah satunya.

Pontianak, NU Online
Sains dan agama perlu berkolaborasi untuk menciptakan peradapan baru, tanpa mengasingkan salah satunya. Antara ilmu agama dan sains, keduanya sama-sama penting. 

 

Pakar Filsafat dan Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahruddin Faiz mengatakan hal itu saat mengisi acara Sinau Filsafat bertema Relasi Agama dan Sains yang diadakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII) IAIN Pontianak secara daring, Kamis (2/9/2021) malam. 

 

Meskipun terkadang isi dari keduanya terkesan tidak terkait, kata Fahruddin, sering kali dilakukan ikhtiar untuk memunculkan gagasan baru untuk mempertemukan keduanya

 

"Jadi, agama itu termasuk ayat qauliyah, dan sains adalah ayat qauniyah. Namun, saat ini umat Islam mengalami problematika, yaitu hanya fokus kepada ayat qauliyah, sehingga umat Islam terkesan terbelakang dalam urusan perkembangan sains di zaman modern," ungkapnya

 

Menurutnya problematika kajian Islam yang pertama ialah visi qauliyah. Hal ini yang membuat umat Islam kalah dengan qauniyah. Sejak sekitar abad ke-14, ketika Dinasti Islam jatuh, Islam hanya melihat aspek nash (qauliyah). Tradisi literasi berkurang, akhirnya cara hidup umat Islam terkungkung hanya  pada ayat qauliyah. Dari aspek qauniyah banyak yang kalah dari peradaban barat.

 

Hal kedua, dunia Islam menghadapi problem dikotomis-hirarkis. Dikotomis ialah memilah-milah antara ilmu agama dan ilmu umum, sedangkan hirarkis ialah merengking-rengking bidang ilmu, sehingga tercipta ilmu yang lebih unggul. Menurut Ustad Fahruddin, sapaan akrabnya, umat Islam tentu akan fokus ke ilmu yang lebih tinggi, padahal segala ilmu pengetahuan itu perlu di kuasai.

 

"Yang ketiga problemnya cara berfikir konservatif. Sebenarnya ini baik karena hanya berpatokan pada muhafadoh alal qodim saja, yaitu menjaga hal yang lama. Tapi sayangnya muhafadoh alal qadim ini tidak berlanjut ke wal ahlu bil jadid, yaitu mengambil hal yang baru. Bahkan umat Islam perlu mengembangkan kreativitas kalau saat ini sitilahnya wal ijadu fil jadid," jelas Dosen UIN Sunan Kalijaga ini.

 

Selanjutnya problematika umat Islam yang keempat menurut dosen yang rutin mengisi kajian di Masjid Diponegoro Yogyakarta ini adalah catching-up syndrome, yaitu sindrom menyomot, mengambil ilmu begitu saja. Misalnya ada temuan sains baru, umat Islam langsung mencari ayat dan mencocok-cocokkan. Jika sains tersebut tidak cocok dengan Al-Qur'an, tidak dipakai.

 

"Nah yang terakhir problemnya adalah kepentingan. Kadang-kadang kebenaran itu kalah ketika mengedepankan kepentingan. Teman-teman PMII harus jeli, dan selalu berpikir kritis," jelasnya. 


Problem kajian Islam tersebut menurut Ustadz Fahruddin Faiz akan berimbas kepada dunia sosiokltural. Karena itu menurutnya perlu merelaasikan agama dan sains, seperti meyakini bahwa ilmu dan agama sumber sejati kebenarannya ialah Allah, jadi hakikatnya tidak bertentangan. Selanjutnya ilmu sains yang sifatnya material perlu tambahan dimensi sipiritualitas, keduanya perlu dipertautkan karena sama-sama penting.

 

"Ya saat ini seperti ijtihad di dalam kampus seperti mempertemukan wawasan Islam tentang ekonomi modern, munculah ilmu Ekonomi Syariah. Kemudian pandangan Psikologi yang dipertemukan dengan wawasan islam muncullah Psikologi Islam. Tinggal bagaimana sekarang umat Muslim mendalami ilmu-ilmu tersebut," jelasnya.

 

Kontributor: Siti Maulida
Editor: Kendi Setiawan