Daerah

Rahasia Kiai Umar Jember Disukai Semua Kalangan

Kam, 24 September 2020 | 12:30 WIB

Rahasia Kiai Umar Jember Disukai Semua Kalangan

Sampul buku 'Sang Penyemai Bibit Aswaja, Biografi, Perjuangan dan Perjalanan Hidup Kiai Umar Sumberwringin'. (Foto: NU Online/Aryudi A Razaq)

Jember, NU Online 
Kiai Umar Jember merupakan sosok ulama yang cukup disegani semasa hidupnya. Namanya melegenda  karena selain pengasuh pesantren, ia juga pejuang. Bahkan ia sempat merasakan pengapnya ruang tahanan penjajah. 

 

Hari ini, Kamis 6 Shafar 1442 H bertepatan dengan 24 September 2020, 38 tahun yang lalu, Kiai Umar meninggal dunia. Acara tahlil akbar untuk mengenangnya digelar secara virtual dan tatap muka dilakukan di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (24/9). Santri Mbah Hasyim Asy’ari ini merupakan generasi kedua yang menjadi pengasuh pesantren tersebut.

 

Tahlil akbar tersebut dilakukan oleh saudara dan anak cucu serta keluarga almarhum, dan tentu saja ribuan alumni dan santri Raudlatul Ulum secara virtual.

 

"Yang penting kita kirim Fatihah, dan memohonkan ampun untuk almarhum (Kiai Umar)," ujar salah satu putranya, KH Misbah Umar saat mmberikan sambutan singkat dalam acara tahlilan itu.

 

Dalam buku Sang Penyemai Bibit Aswaja, Biografi, Perjuangan dan Perjalanan Hidup Kiai Umar Sumberwringin, cetakan Desember 2009, disebutkan Kiai Umar, selain lemah lembut, juga dikenal mempunyai sikap toleransi yang tinggi. Karena itu, pengagum Kiai Umar bukan hanya warga pribumi, tapi juga warga keturunan Tionghoa.

 

Seburuk apa pun prilaku seseorang, niscaya bisa ditaklukkan oleh Kiai Umar. Terbukti, banyak pihak yang semula memusuhi Kiai Umar, akhirnya berguru, bahkan siap menjadi tamengnya. Hal itu, karena metode dakwah yang dilakukannya sangat elegan. 

 

Kiai Umar juga mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang netral di tengah kecenderungan polarisasi dukungan politik yang semakin menguat, sehingga bisa diterima oleh semua golongan. Misalnya ketika sengit-sengitnya konfrontasi antara partai NU dan Golkar, Kiai Umar masih menjalin hubungan baik dengan petinggi partai berlambang pohon beringin itu. Buktinya, Abdul Hadi (Bupati Jember yang juga tokoh Golkar) dan H Much Syari’in (tokoh Golkar) ketika itu sering sowan ke Sumberwringin. Seolah-olah tidak ada apa-apa antara Kiai Umar dan Golkar, walaupun saat itu ia adalah figur partai NU.

 

Keeleganan Kiai Umar juga bisa dilihat dari cara pandangnya yang luas. Misalnya, suatu ketika putranya, KH Khotib Umar pernah mengusulkan kepada sang ayah agar Raudlatul Ulum diubah namanya menjadi Pesantren Nahdlatul Ulama. Bukan tanpa alasan KH Khotib Umar melontarkan usulan itu. Pasalnya, NU sudah mendarah daging dalam keluarga besar Sumberwringin. 

 

Namun, Kiai Umar menolaknya mentah-mentah. Alasannya, masih menurut buku tersebut, pesantren yang diasuhnya bukan hanya untuk warga NU, tapi untuk semua umat Islam. Dakwah tidak hanya dikembangkan dari satu sisi (NU) tapi juga bisa dari sisi yang lain, non NU. Lebih dari itu, Kiai Umar ingin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang membawa manfaat bagi masyarakat umum tanpa harus tersekat oleh dinding organisasi, primordialisme dan sebagainya. Bukankah Islam diturunkan  sebagai rahmatal lil ‘alamin?. 
       

Kemudian, membantu orang lain, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kiai Umar. Ia begitu mudah mengulurkan bantuan untuk warga yang benar-benar membutuhkan. Bahkan untuk kepentingan Ongkos Naik Haji (ONH) warga, Kiai Umar juga membantu, walaupun dengan akad pinjam. Setiap tahun, Kiai Umar memberangkatkan tak kurang dari 10 orang ke tanah suci, atas bantuannya. 

 

Kendati demikian, ia tetap tampil sebagai sosok yang sederhana, meski peluang untuk hidup mewah terbuka lebar. Sebab, sebagai ulama tentu banyak orang yang menawarkan bantuan, dan menjadi kebanggaan tersendiri bila bantuannya direspons.  
       

Walaupun disibukkan oleh kegiatan NU dan politik, namun Kiai Umar tetap menjadikan pesantren sebagai pelabuhan hatinya. Baginya, tidak ada yang lebih mulia selain melayani santri dan mengurus pesantren. Sebab, pesantren adalah tempat menggodok dan membenahi moral generasi penerus. Dan komunitas inilah yang pada saatnya kelak akan menentukan hitam putihnya warna bangsa.

 

Pewarta:  Aryudi A Razaq

Editor: Kendi Setiawan