Jember, NU Online
Puasa Ramadhan seharusnya tidak hanya menjadi rutinitas ritual formal yang hampa dari nilai. Yakni dilakukan untuk sekedar menggugurkan sebuah kewajiban. Sebab jika demikian, puasa Ramadhan tidak mempunyai imbas apapun dalam perbaikan jiwa yang bersangkutan.
Hal tersebut diungkapkan Hj Aisyah Ajhury saat memberikan tausiyah dalam acara pengajian Muslimat di Desa Durian, Kecamatan Tanggul, Jember, Jawa Timur, Selasa (8/4).
Menurut Ning Aisyah, sapaan akrabnya, idealnya puasa tidak sekedar menahan haus dan lapar tapi juga menjaga perbuatan dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai atau pahala puasa seperti ghibah dan berkata bohong.
Dengan begitu bukan semata-mata pahala besar yang dikejar, tapi ada unsur pelatihan untuk mengendalikan nafsu. Dan itu diharapkan berlanjut hingga setelah Ramadhan.
“Jadi puasa itu ada tiga tingkatan. Pertama puasa orang awam. Yakni puasa yang hanya tidak makan dan minum. Kedua, puasa khusus. Yaitu puasa yang tak hanya mencegah makan dan minum tapi juga menjaga lidahnya dari ghiba dan dusta,” tukas Pengasuh Pesantren Fatihul Ulum, Desa Klatakan, Tanggul, Jember itu.
Sedangkan yang ketiga adalah puasa khususul khusus. Yaitu puasa orang yang mampu menjaga hatinya dari memikirkan selain Allah SWT. Puasa tersebut, lanjut Ning Aisyah, memang dikategorikan sebagai puasa khususul khusus karena memang hanya orang-orang khusus atau istemewa yang bisa melakukan puasa model ketiga tersebut. Yakni tidak makan dan tidak minum, manjaga lisan, dan hatinya hanya diisi dengan mengingat Allah.
“Kalau itu terlalu berat, maka minimal puasa kita termasuk kategori yang kedua,” urainya. (Aryudi Abdul Razaq/Muiz)