Daerah

Potret Nahdliyin Brebes Mengais Rezeki di Masa Pandemi

Kam, 18 November 2021 | 21:00 WIB

Potret Nahdliyin Brebes Mengais Rezeki di Masa Pandemi

Salah satu kreasi Nahdliyin Brebes mengembangkan batik. (Foto: Wasdiun)

Brebes, NU Online
Warga NU (Nahdliyin) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang menggeluti bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di masa Pandemi Covid-19, tak padam semangatnya. Justru berangkat dari keprihatinan karena terpaan Corona yang dasyat, menjadikan kobaran api semangat berkarya, kian membara. 


Para pelaku UMKM Nahdliyin terus berkreasi, sembari berharap Allah swt akan menolong dengan menghilangkan Virus Corona dari Indonesia, dari dunia. Mereka mengais rezeki dengan terus berkarya, melakukan sentuhan-sentuhan kreatif meski tak seberuntung sebelum masa pandemi. 


Berikut ini, potret Nahdliyin Brebes pelaku UMKM dalam mengais rezeki di masa pandemi yang tak kenal lelah, tak putus asa.


Baihaqi, hadapi pandemi dengan paralon
Nahdliyin yang pensiunan Guru Kesenian SMP 2 Brebes adalah Baihaqi Munawar. Dia sekarang tak kenal lelah mengisi usia senjanya dengan membuat kerajinan tangan. Paralon, sebagai media yang dibuatnya menjadi lima jenis kerajinan, yakni hiasan dinding, tempat payung, bambu hias, vas bunga dan lampu hias.


Rumahnya yang mungil di Desa Lemah Abang RT 04 RW IV, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes digunakan sebagai galeri sekaligus rumah produksi. Baihaqi memamerkan contoh-contoh hasil karyanya di ruang tamu. Entah siapa yang mau pesan, dalam hitungan jam bisa diselesaikan keinginan pembeli. 
 

Keinginannya untuk mendapatkan kader pengrajin, belum kesampaian. Menurutnya, pemuda dan remaja desa setempat kurang berminat menggeluti bidang kesenian untuk membantu kelangsungan kerajinannya. 

 

Untung saja, salah satu sekolah secara berkala menggiring siswanya belajar kerajinan di galerinya. Baihaqi tidak memasang tarif untuk menularkan ilmunya kepada anak-anak SMK itu. Cuma kadang anak-anak sekolahan tersebut membeli hasil karyanya yang seharga antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.

 

"Anak-anak itu, rupanya iuran untuk membeli hasil kerajinan saya, sebagai tanda terima kasih,” ungkap Baihaqi.

 
Di masa pandemi, Baihaqi menjual kerajinan tangan dan lukisan hasil karyanya di rest area KM 260 B Banjaratma, Brebes. Entah laku atau tidak, yang penting bagi dia terus berkarya dan Baihaqi percaya, ada saja pembeli yang menghargai hasil karyanya.


​​​​​​​Indra Pratama, pemuda yang kesengsem batok kelapa
Indra Pratama, Anggota Ansor dari Dusun Curug Desa Kedungbokor Rt 02/RW III, Larangan mengaku tidak tertarik dengan pekerjaan lain. Jebolan SMK ini, setiap hari menekuni batok-batok kelapa dan kayu yang disulap menjadi hiasan aneka ragam. Dia menekuni kerajinan batok kelapa sejak 2012, meski awalnya cuma iseng-iseng waktu masih duduk di kelas 2 SMK.  
 

Untuk memulai usaha, tutur Indra, modal awalnya bukan uang tapi sepotong gergaji manual yang dipinjam dari temannya dan tak pernah dikembalikan. 

 

"Karena mendatangkan rejeki buat keluarganya, akhirnya saya membeli Gergaji itu seharga Rp12 ribu, itulah modal awal saya," kenang Indra.


Indra berpikir, kalau hanya mengembangkan kerajinan berbahan baku batok saja, kurang laku di pasaran dan memakan waktu. Untuk itu, dia mengembangkannya berbahan baku kayu dan perpaduan antara batok kelapa dengan kayu. Akhirnya berkembang hingga sekarang.
 

Dari hasil kerajinannya, Indra mematok harga dalam kisaran harga Rp3 ribu hingga Rp1,5 juta. Dengan kerajinan tangan yang ditekuninya itu, makin menambah pundi-pundi rupiah. "Meski di masa pandemi, saya terus berkarya dan alhamdulillah penghasilan saya di atas UMR per bulannya," tuturnya. 


Melihat prospek yang menjanjikan tersebut, Indra bercita-cita ingin mengembangkan usahanya dengan memiliki toko souvenir dan karyawan. Juga pengin membuka cabang di Desa Kedawon, Larangan Brebes sekaligus sebagai galeri kerajinan khas Brebes. 

 

"Tetap semangat, jangan mudah menyerah walau banyak tantangan. Apapun masalahnya bisa teratasi agar hidup kita bisa berguna," tutur Indra berprinsip.

 

Widiyanto, melukis kuningan
Logam Indah Galeri di Jalan Raya Desa Slatri RT 11 RW I, Kecamatan Larangan Brebes adalah milik Widiyarto. Hasil karya Widiyarto sangat menakjubkan karena tidak menggunakan komputer dalam membuat pola gambar logam. Widi mengandalkan kemampuan bakat melukis yang dia dapatkan saat sekolah, kerja di Jakarta dan belajar di Thailand. 


Widi menceritakan, saat bekerja di Jakarta, dirinya bahkan menggunakan bahan baku logam mulia Emas 24 karat dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.
 

Karena rawan pencurian dan membutuhkan modal besar, maka dia hanya membuat hasil karya yang berbahan dasar Kuningan dan limbah Alumunium bisa dibuat hiasan dinding yang cantik dan menarik. 

 

"Sebenarnya, saya pengin konsen di lukisan karena sedari awal bakatnya melukis. Tapi karena persaingannya ketat, saya pilih logam ukir Kuningan," ujar Widi didampingi putranya yang alumni Pondok Gontor.
 

Widi membuka galerinya dengan mengandalkan modal awal Rp20 juta. Sejak pandemi memasarkan hasil karyanya di Hotel Jakarta, Semarang dan Surabaya. Hasil karyanya dipatok harga antara Rp500 ribu hingga Rp7 juta. Karena sudah tidak lagi bekerja di Jakarta sejak Pandemi, Widi berharap ada campur tangan Pemkab Brebes untuk pelatihan pemasaran dan ada tempat untuk memasarkan. 


Putriyani, celengan rumah bikin betah di rumah
Putriyani, anggota Fatayat NU ini melakukan usahanya di Jalan Sunan Gunung Jati Limbangan RT 02/ RW V, Limbangan Wetan Brebes. Dia berkonsentrasi di usaha kecil kerajinan, planel, celengan rumah, bando, masker dan lain-lain alat permainan anak. 


Putri mengaku mengawali usahanya sejak 2018 sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Dia menekuni usahanya dengan modal dari kantong pribadi. Namun kemudian mendapatkan Bantuan Permodalan Usaha Mikro (BPUM) sebesar Rp 2,4 juta. Modal tersebut digunakan untuk membeli mesin jahit guna memproduksi masker kain.

 

Di masa pandemi, Putri memasarkan hasil kerajinannya secara offline dan online. Secara offline, hasil kerajinannya dititipkan di toko-toko Brebes.


Putri berkeinginan usahanya bisa lebih berkembang sehingga bisa mempekerjakan warga sekitar. Saat ini masih ditangani sendiri, cuma kadang-kadang dibantu oleh tetangganya ketika mendapatkan pesanan yang banyak. 

 

Tia Sprei, ada bantal ada sprei di masa pandemi​​​​​​​
Sebut saja Bastiatun atau Tia Sprei, perjalanan menggeluti industri sprei awalnya hanya coba-coba karena merasa dirinya tidak memiliki basic jahit menjahit. Tetapi dia belajar dan terus belajar tak kenal lelah, akhirnya bisa menjahit. 

 

Sebelum memproduksi sprei, dia mengaku hanya membuat sarung bantal yang ditawarkan ke teman-temannya lewat grup WA yang langsung mendapat respon yang bagus. 
 

Suatu ketika, ada seorang pembeli yang menyarankan agar jangan hanya membuat sarung bantal saja tetapi juga sprei. Setelah dipikir-pikir, betul juga kalau ditempat tidur itu tidak hanya sarung bantal tetapi juga sprei. Maka dia pun tambah semangat dengan menambah usahanya membuat sprei, yang otomatis di dalamnya sepaket dengan sarung bantal. 
 

Awal membuat sprei, Tia merugi. Karena bahannya kasar dan tidak laku, hingga sekarang sprei itu pun tidak dijual, sebagai kenangan belaka. Setelah tanya ke sana kemari dan browsing di internet, akhirnya menermukan pemasok bahan sprei yang bagus dan motifnya selalu bergonta ganti tiap dua minggu sekali. 
 

Tia memutuskan untuk menekuni Sprei, karena menjahit sprei dan sarung bantal tidak serumit menjahit pakaian atau taylor dan prospeknya juga cerah. Kata Tia, menjahit sprei sudah ada ukuran baku yang disesuaikan dengan jenis tempat tidur secara nasional. Baginya yang lebih utama adalah motif, corak dan permainan kombinasi warna yang cocok, menarik dengan jenis bahan sesuai selera pembeli. 
 

Kain yang empuk, tidak panas dan warna yang menggairahkan menjadi pilihan para pembeli yang paling didemeni.

Untuk memasarkan spreinya, Tia melakukan secara offline dan online. Beruntung, penjualan secara offline, produknya menjadi rebutan para ibu-ibu perkantoran ketika menjajakan di pameran produk unggulan Brebes. Juga ada yang sengaja datang ke tempat produksinya. Sedangkan pemasaran online dia tawarkan lewat WA Group dan media sosial lainnya. Reseller dari luar negeri juga banyak memesan seperti dari Malaysia dan Hongkong. 
 

Tia Sprei, selain harganya murah, juga coraknya unik dan bahannya menggelitik untuk dimiliki. Tia dalam sehari mampu memproduksi 10 pcs sehingga dalam sebulan bisa memproduksi minimal 300 pcs sprei lengkap. Proses produksi di rumahnya jalan Ade Irma Suryani Rt  04 / Rw VIII Brebes dibantu 5 orang pekerja ditambah anak-anak magang dari SMK di Brebes.


Tia bercita-cita mempunya rumah produksi sendiri yang luas dan tidak sumpek sehingga hasil industrinya makin berkualitas dan menjadi kebanggaan masyarakat Brebes. 
 

Bambu berkah di masa pandemi

Sakrad, bersama anggota Kelompok Pengrajin Bambu (KPB) Wana Sejahtera, Desa Glonggong, Kecamatan Wanasari memiliki kegelisahan kreatif pada keunikan Bambu. Di tangan kreatif Sakrad, bambu bisa dibikin berbagai macam kerajinan seperti Gazebo, tempat sendok, poci, garpu, kaligrafi, rak tv, rak sepatu dan lain-lain.
 

Saat NU Online mengunjungi, Sakrad tengah menggarap pesanan Bupati Hj Idza Priyanti SE MH berupa delapan buah Gazebo.


Ketika masih muda, Sakrad sudah akrab dengan dunia bambu. Karena setiap hari membantu orang tuanya yang membuat anyaman bambu untuk pyan atau eternit. Dan warga sekitar juga memanfaatkan bambu sebagai bahan dasar membuat mainan anak berupa otok-otok.


Jiwa kreatif Sakrad membuncah setelah mengikuti pelatihan kerajinan bambu di Yogyakarta sekaligus membuka wawasannya kalau Bambu bisa dibuat aneka ragam kerajinan.

 

"Sebenarnya, usaha Bambu ini diprakarsai oleh Paman Saya, tapi karena terlalu sibuk dengan majelis taklim dan imam rowatib masjid, lalu dipegang saya bersama teman-teman kelompok," ungkap Sakrad yang mahir memainkan Srakalan atau Terbang (rebana) Jawa.

 

"Masa pandemi, pemasaran masih sebatas Kabupaten Brebes dan Kabupaten Tegal dam Cirebon," sambungnya.


Sakrad masih mengandalkan permodalan pribadi dan iuran anggota kelompok. Belum ada perbankan yang memberi pinjaman lunak untuk memperbesar usahanya. 
 

Dalam sehari, Sakrad bisa menyelesaikan jenis kerajinan kecil dalam satu jam, namun yang rumit-rumit dan besar ​​​​​​​biasnya kalau fokus bisa diselesaikan dalam waktu 15 hari.
 

Sakrad juga meminta kepada pemerintah untuk melirik hasil-hasil kerajinannya sehingga bisa membantu pemasaran atau promosi. Dia bertahan di masa pandemi dengan dibantu dua orang pekerja serta mengelola bengkel kerajinan bambu bersama 20 orang anggotanya.


​​​​​​​Ranimpen, batik mangrovenya merambah ke Jepang

Ranimpen, merupakan anggota Fatayat NU yang menggeluti industri Batik Tulis Pewarna Alam Mangrovesari, Desa Kaliwlingi, Brebes dan terus bertahan meski di masa pandemi. Sebelum pandemi, Rani, demikian sapaan akrabnya, pernah mengirim 100 potong Batik Mangrovesari hasil garapan kelompoknya ke Jepang.


Awal memmbatik, Rani saling belajar bareng dengan para pembatik dari Salem. Pengrajin Salem yang sudah mendalami batik sejak lama, menimba ilmu tentang pewarna alam dari kulit pohon mangrove. Sedangkan Rani bersama anggota kelompoknya belajar tentang tata cara pencantingan. 
 

Modal awal membatik, Rani mendapatkan bahan kain dari Yayasan Kehati, Jakarta. Setelah menghasilkan kain batik yang bagus, dilauching dan dipasarkan melalui pameran produk unggulan Brebes dan dijajakan di kios-kios obyek wisata Mangrovesari.
 

Untuk memproduksi satu potong kain, Rani menyelesaikannya dalam seminggu. Sebab, untuk membuat batik tulis, dibutuhkan proses yang panjang dari menggambar pola, membatik, mencanting, pewarnaan, plorodan hingga pengeringan dan pengepakan.


"Untuk harga, saya mematok rata-rata Rp300 ribu, meskipun menurut masyarakat lokal masih dianggap mahal. Namun alhamdulillah, laris karena kualitas dan corak yang khas menjadi good will setelah dipakai," ungkap Rani.

 

Sebagai batik khas lokal Brebes, Rani punya keinginan batiknya menjadi pakaian seragam dinas instansi. Sehingga bisa menambah semangat dan kelestarian batik pada masa mendatang.
 

Ada berbagai motif yang dimiliki para pengrajin Kelompok Dewi Mangrovesari yang dipimpin Rani. Di antaranya motif mangrove, ikan, burung dan kondisi alam sekitar Pantai Pandansari.


Gairah pembatik Rani beserta anggota kelompok Dewi Mangrovesari terus menggeliat meski ditengah terpaan pandemi Covid. Rani menceritakan, yang sebelumnya para ibu di Dukuh Pandansari Desa Kaliwlingi hanya berkutat mengolah ikan, krupuk ikan, rengginang ikan dan kripik tempe, kini mereka juga mahir membatik.

 

Sodikin, bersahabat dengan percikan api las listrik
Sodikin, menggeluti kerajinan Logam sejak usia muda. Selepas SMA, dia rela menghabiskan masa mudanya untuk menjadi tukang las di kawasan Cikeas, Bogor, tempat tinggal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 
 

 

Karuan saja, sewaktu SBY membangun pagar rumahnya di Kawasan Cikeas, Sodikinlah yang menjadi salah satu penggarapnya. Dia mengaku bangga dan menjadi kenangan terindah bisa membuat pagar rumah Presiden. 
Pandemi Covid-19, memaksa dirinya hengkang dari Jakarta dan kembali ke Desa Sawojajar, Kecamatan Wansari Brebes. 


Pulang ke desa, ternyata gayung bersambut dengan tempat usahanya banyak kapal nelayan yang bersandar. Berbagai peralatan kapal nelayan yang terbuat dari logam atau besi banyak yang rusak sehingga membutuhkan perbaikan. Sodikin menangkap peluang itu, dengan memperbaiki berbagai perlengkapan kapal yang rusak.
 

Nasibnya menjadi moncer, setelah Sodikin tidak hanya memperbaiki peralatan kapal nelayan seperti baling-baling, tuas, jangkar dan lain-lain. Tetapi juga membuat layos, papan organisasi, dan mengelas berbagai kebutuhan masyarakat setempat. 
 

Boleh jadi, Nahdliyin Brebes yang menggeluti UMKM lelah menghadapi pandemi Covid-19 selama hampir dua tahun. Tetapi buktinya mereka tetap bertahan dan bangkit tanpa mengeluh dengan bersandar pada kekuasaan Yang Maha Kaya, Allah swt.


Kontributor:Wasdiun
​​​​​​​Editor: Kendi Setiawan