Daerah

Pesantren At-Thaariq Garut Pulihkan Ekonomi dan Lingkungan dengan Agroekologi

Rab, 30 Juni 2021 | 18:00 WIB

Pesantren At-Thaariq Garut Pulihkan Ekonomi dan Lingkungan dengan Agroekologi

Ilustrasi: Melalui agroekologi 80 persen tumpukan sampah bisa terurai dan berkurang. Hal ini selaras dengan konsep rahmatan lil alamin yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan. (Foto: Pesantren At-Thaaariq Garut)

Jakarta, NU Online 
Pendiri Pesantren Ekologi At-Thaariq Garut, Nyai Nissa Wargadipura, menceritakan asal mula berdirinya Pesantren At-Thaariq adalah hasil dari memotret setiap perkembangan ekologi bangsa. Pendirian pesantren ini bertujuan menjadikan pesantren sebagai model pemulihan ekonomi di Indonesia dengan konsep Islam rahmatan lil alamin.

 

"Kami berupaya menumbuhkan pondasi-pondasi penting para pembelajar untuk dijadikan kader antargenerasi baru yang memiliki kecerdasan ekologi, sosial, dan spiritual," kata Nyai Nissa dalam Diskusi Lingkungan: Kiai Muda Sensitif HAM dan Gender, Rabu (30/6).

 

Kader itu, kata Nyai Nisa nantinya diberdayakan untuk menjaga perubahan yang disebabkan oleh revolusi modernisasi eksploitatif, seperti penanggulangan sampah dan lainnya. Nyai Nissa juga menyatakan bahwa pengkaderan ini bukan cuma diperuntukkan untuk anak didiknya. Tetapi, ia juga berusaha menciptakan karakter peduli lingkungan kepada setiap individu maupun kelompok agar mampu menjaga keanekaragaman komponen biotik.

 

"Untuk meminimalisasi sampah kami berupaya menggerakkan para pembelajar melalui agroekologi," terangnya.

 

Ia percaya melalui agroekologi 80 persen tumpukan sampah bisa terurai dan berkurang. Hal ini selaras dengan konsep rahmatan lil alamin yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.

 

"Rahmat ini adalah milik Allah yang diturunkan oleh Islam untuk dinikmati bersama-sama," tutur Nyai Nissa.

 

Adapun pengimplementasian rahmatan lil alamin itu sendiri dipraktikkan melalui agroekologi yang merupakan sistem tradisi agraris Nusantara yang mengurus hulu-hilir dan tata kelola ataupun produksi berbasis kearifan lokal. Tujuannya adalah untuk membangun lanskap konservasi atau pemulihan ekologi yang murah, mudah, dan berkualitas tinggi juga inklusif, sehingga mampu dengan cepat memulihkan kerusakan ekologi berbasis penguatan ekonomi.

 

"Bahkan kami menyebutnya surplus. Ekologi naik ekonomi juga naik," jelasnya.

 

Berbicara sampah agroekologi, menurut Nyai Nissa, selain mampu meminimalisasi sampah hingga 80 persen juga bisa menjadi penyelamat masa-masa krisis iklim dan cuaca termasuk pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, dia bersama masyarakat sekitar pesantren bergotong-royong membangun sebuah laboratorium seluas 10.000 meter persegi atau satu hektar. Ini sebagai  menciptakan lanskap konservasi dengan memaksimalkan penggunaan sumber daya alam untuk meminimalisasi sampah plastik. 

 

Alhasil, upaya tersebut berhasil menumbuhkan perekonomian masyarakat dengan terbentuknya 'Gerakan Belanja di Pekarangan' tanpa wadah plastik.

 

"Jadi bayangkan kalau kita ke pasar satu bahan makanan satu kantong kresek. Nah, hal itu tidak terjadi di kami karena semuanya ditanam. Maka lewat agroekologi kami percaya diri mengaku bahwa kami adalah gerakan zero waste," tegasnya. 

 

Lebih lanjut, Nya Nissa menjelaskan untuk tidak mendapatkan asupan-asupan sampah maka semua tanaman yang ditanam menggunakan sistem polikultur. Sistem ini merupakan pola tanam yang bisa menciptakan kondisi lingkungan dan ekosistem lebih baik, karena pada satu bidang lahan tersusun dari berbagai jenis tanaman (lebih dari satu tanaman). Sehingga, terdapat rotasi tanaman dan mampu memutus siklus organisme penganggu tanaman (OPT). 

 

Sementara sistem monokultur berpotensi terjadi ledakan hama yang besar karena pada sistem pola tanam ini tidak terdapat rotasi tanam, sehingga tidak dapat memutus siklus OPT. Selain itu sistem ini juga dapat menyebabkan terbentuknya lingkungan pertanian yang tidak baik. 

 

"Polikultur itu beraneka ragam. Kalau monokultur itu satu sehingga otomatis komponen makanan tanaman itu diambil dari luar dan mengakibatkan penumpukan sampah pada lingkungan," terangnya. 

 

Nyai Nissa juga mengingatkan di tengah pandemi Covid-19 ada satu hal darurat yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bersama, yaitu, penanggulangan sampah plastik. Dalam mencermati kedaruratan inilah, ia semakin percaya bahwa agroekologi dapat menjadi solusi permasalahan sampah selama ini.

 

"Ingat hutan tidak memasok sampah apalagi sampah plastik. Tapi hutan itu hidup oleh dirinya sendiri," tegas dia. 

 

Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Kendi Setiawan