Penerapan UU Sumber Daya Air Justru Membebani Kaum Petani
NU Online · Ahad, 12 Desember 2004 | 01:01 WIB
Tulungagung, NU Online
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah berjalan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun dalam implementasinya, UU tersebut justru dinilai semakin membebani kaum petani. Sebab, pemenuhan air di luar irigasi untuk keperluan pertanian dilakukan berdasarkan ijin dari pemerintah selaku pejabat yang berwenang.
Penilaian itu disampaikan Abdul Fattah Masrun, Direktur The Djayengkoesoemo Center Tulungagung, sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan petani. Menurutnya, pemberian ijin dari pemerintah itu jelas tidak gratis. Tentu ada retribusi dan pungutan liar.
<>Seperti diketahui, dalam UU No. 7/2004 salah satunya mengatur tentang hak guna pakai dan hak guna usaha air. Hak guna pakai bisa diperoleh oleh siapa saja untuk keperluan sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi tanpa ijin terlebih dahulu kepada pemerintah. Sementara hak guna usaha air hanya diberikan kepada kepada perseorangan atau badan usaha dengan ijin dari pemerintah. Pendeknya, UU ini merupakan dasar kebijakan untuk melakukan privatisasi atau komersialisasi sumber daya air.
“Ada batasan yang sulit dikendalikan dalam kedua hak atas air itu. Pertanian sawah yang merupakan hak guna pakai akan menjadi hak guna usaha bila dalam pemakaiannya melebihi ketentuan. Jika demikian halnya, maka petani akan berurusan dengan masalah perijinan yang prosesnya berbelit-belit,”kata Fattah, Sabtu (11/12).
Dikatakannya, proses perijinan yang berbelit-belit membuka lahan subur bagi terjadinya praktek korupsi dan kolusi. Padahal mekanisme seperti ini sangat jauh dari lingkungan petani. Dampaknya, hanya individu yang memiliki modal besar maupun badan usaha tertentu yang mampu melakukannya. Mereka berpeluang besar memonopoli sumber air, sedangkan para petani tetap akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan air untuk mengairi sawahnya.
“Kita juga tahu bahwa pertanian dengan sistem irigasi itu hanya berjalan di pulau Jawa. Lantas bagaimana dengan pertanian di luar Jawa yang tidak memakai sistem irigasi? Apakah sawah petani yang tidak mampu mendapatkan ijin akan dibiarkan mengering tanpa air? Hal-hal semacam inilah yang menjadi persoalan pelik para petani sekarang dan harus dicarikan solusinya,”tandas Fattah Masrun.
Ketentuan adanya perijinan untuk pemenuhan air sebenarnya tidak hanya membebani petani, tapi juga masyarakat secara umum. Problem yang secara pasti akan dihadapi kaum petani berpotensi mendorong terjadinya perpindahan usaha dari sektor pertanian menuju sektor yang lain. “Jika itu yang terjadi, maka kedaulatan pangan negeri ini jelas terancam dan secara otomatis kedaulatan negara juga terancam,”terangnya.
Dampak lain yang tak kalah hebatnya, papar Fattah, persoalan ini bisa pula memicu terjadinya konflik di masyarakat. Apalagi individu atau badan usaha yang menguasai air sangat mungkin menentukan tarif seenaknya sendiri untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Mereka bisa jadi hanya akan memberikan fasilitas air kepada petani yang mampu membayar.
“Pengalaman di beberapa negara berkembang yang melakukan privatisasi sumber daya airnya, menghasilkan rata-rata kenaikan tarif air dua kali lipat dengan atau tanpa sponsor Bank Dunia,”tuturnya.
Sebenarnya, kata dia, sebelum adanya UU No. 7/2004, pihak swasta sudah banyak menguasai sumber daya air dan bahkan telah banyak menimbulkan konflik. Sehingga penerapan UU tersebut justru akan memperbesar konflik penguasaan sumber daya air di berbagai daerah. Karena itu, keberadaan UU No. 7/2004 harus ditinjau ulang.
Kontributor : Wahid Nasirudin
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
3
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025
6
Menlu Iran ke Rusia, Putin Dukung Upaya Diplomasi
Terkini
Lihat Semua