Daerah

Pendidikan Karakter Masih Sebatas Pemahaman

NU Online  ·  Senin, 15 Oktober 2012 | 01:21 WIB

Kudus, NU Online
Maraknya aksi tawuran  siswa maupun mahasiswa menjadi bukti  pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi masih hanya sebatas pemahaman. Pendidikan karakter hanya dipahami sebagai bagian penumpukan pengetahuan bukan pada kegesitan perilaku maupun tindakan.<>

“Pemahaman pendidikan karakter hanya sebatas pada alur logika, namun sepi pada ranah implementasinya,” kata sekretaris Pimpinan Cabang Lembaga pengembangan Sumber daya Manusia NU (Lakpesdam NU) Kabupaten Kudus Zamhuri kepada NU Online Ahad (14/10).

Zamhuri mengutarakan pendidikan (karakter) menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya dibebankan pada lembaga pendidikan saja tetapi juga keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masing-masing memiliki tanggung jawab untuk memupuk suburnya tumbuhan karakter pada setiap anak. 

“Bagaimana mungkin anak tidak tawuran, kalau orang tuanya sering bertengkar, masyarakat suka kebrutalan, dan pemerintahnya sibuk dengan urusan untuk mempertahankan kekuasaan.”tegasnya.

Dari sini,kata dia, terdapat  satu mata rantai pendidikan, semuanya menjadi arena belajar anak. Ia mencontohkan bila  anak-anak sering mengkonsumsi menu kekerasan,maka tubuhnya akan terbangun budaya kekerasan.

“Semua komponen harus  berperan sebagai 'lembaga pendidikan' maupun menjadi 'guru' bagi anak di semua level kehidupan. Anak adalah cermin orang tua, guru, masyarakat dan Pemerintah. jika baik, anak menjadi baik, begitu pun sebaliknya. “tambah Kepala Humas Universitas Muria Kudus (UMK)

Zamhuri menekankan masyarakat  dalam  memandang sebuah kemuliaan manusia harus diukur dengan nilai maupun sikap empati dalam ranah sosial, aksi solidaritas pada tata pergaulan, aksi amal dengan pengetahuan dan kekayaan serta tawadhu dalam kekuasaan.  Ia merasakan kemuliaan hanya dinilai dari kesenangan maupun keglamoran materi keduniawian belaka.

"Sekarang ini materi dunia  lebih dihargai dan menjadi orientasi kehidupan. Sedangkan nilai keutamaan telah menjadi mitos yang hanya menjadi klangenan para politisi, menjadi banyolan pada majelis dakwah dan menjadi bahan olok-olok para mantan santri.”tandasnya.

Ia menyayangkan  prilaku tawuran yang dilakukan para mahasiswa di sebuah kampus ternama. Menurutnya, tindakan tersebut sangat berlawanan  dengan masyarakat intelektual yang lebih mengedepankan cara-cara mencerdaskan yaitu dengan adu ide dan argumentasi.

“Seharusnya mereka (mahasiswa)  bukan adu emosi dan fisik. Ada cara lain yang lebih elegan untuk mengadu fisik dan emosi yaitu pada arena olahraga dan olah rasa,” pungkas pria jebolan IAIN Walisongo Semarang ini.

Dalam penilaiannya, kelompok masyarakat intelektual yang tidak mampu memecahkan persoalannya dengan pengetahuannya dikarenakan akal emosinya yang lemah. Disamping itu pula, telah terjadi pergeseran tradisi intelektual dari kebiasaan ide menjadi adu ego.

“Jika ego lebih dipentingkan maka emosi dan fisik lebih menonjol. Sementara akal dilemahkan, naluri dimatikan,” tandas Zamhuri . 



Redaktur     : A. Khoirul Anam
Kontributor : Qomarul Adib