Cirebon, NU Online
Langit sudah gelap. Itulah waktunya Kamsari mengayuh sepeda ontelnya sejauh lebih 2 km ke arah barat. Ya, di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat itulah, pria berumur 70 tahun itu kembali mengaji Al-Qur'an seperti masa kecilnya dahulu.
"Iya setiap malam bakda Isya, di bulan Ramadhan bakda tarawih. Malam Jumat pun berangkat," kata Ustaz Subchi A Fikri, guru ngaji Kamsari, kepada NU Online pada Jumat (17/5).
Kamsari kecil sempat mengaji kepada ayah guru ngajinya sekarang, KH Abdul Mumit. Namun, ia belum sampai mengkhatamkannya. Karenanya, ia bertekad menuntaskan ngajinya dahulu kepada putra bungsu gurunya itu. "Saya merasa punya 'hutang' untuk mengkhatamkan Al-Qur'an," kata pria yang bekerja sebagai pemulung itu.
Di samping itu, ia yang sudah berusia senja itu merasa belum fasih membaca kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu. Karenanya, sejak dua tahun silam, ia rutin mengaji kepada pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren tersebut.
"Saya memang tidak muda lagi, selagi masih diberi umur, saya ingin terus belajar Al-Qur'an supaya bisa membaca Al-Qur'an dengan tartil dan sesuai tajwid," ujar kakek enam cucu itu.
Tidak ada rasa malu dan canggung bagi Kamsari untuk senantiasa mengaji. Subchi mengungkapkan bahwa selain Al-Qur'an, Kamsari juga mengaji dua kitab kepadanya, yakni Washiyyatul Musthafa dan Bajatul Wasail. "Setelah mengaji Al-Qur'an, nyambung langsung ngaji kitab," ujar pria yang juga mengajar di Sekolah Dasar itu.
Tak hanya Kamsari, Nyai Hj Aminah juga mengikuti pengajian khusus Ramadhan. Di tengah matahari yang tengah terik-teriknya, sosok perempuan 73 tahun itu berjalan sekitar 100 m ke arah selatan dibantu cucunya. Kepada keponakannya, H Imaduddin Zaeni, Nyai Aminah mengaji kitab Sullamut Taufiq.
Ia mengaku alasan mendasar tetap mengaji karena ibunya yang di usia senjanya tetap mengaji kepada kiai-kiai di Pondok Buntet Pesantren. "Ibu sayanya begitu, saya tuh melanjutkan ibu," ujar nenek 26 cucu itu. (Syakir NF/Muiz)