Daerah

Masjid Gala Sunan Tembayat

NU Online  ·  Jumat, 27 Desember 2013 | 08:04 WIB

Masjid Sunan Tembayat yang menjadi sebutan Masjid Gala di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten merupakan peninggalan Ki Ageng Pandanaran yang menjadi perintis penyebaran Islam di kawasan itu. Masjid itu menjadi salah satu tujuan wisatawan, selain makam Ki Ageng Pandanaran. <>

Para pengurus takmir harus bisa menjaga kondisi masjid peninggalan Ki Ageng Pandanaran yang bersejarah itu tanpa bisa melakukan perubahan bangunan sedikit pun. Maklum saja, masjid itu merupakan bangunan cagar budaya, sehingga perbaikan sekecil apa pun harus izin Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng.

Ketua Takmir Masjid Gala, Mawardi menuturkan, “Kami harus menjaga masjid ini sebagai warisan budaya dan tidak boleh ditambah atau dikurangi. Masjid ini menjadi obyek wisata yang sering dikunjungi peziarah yang datang ke Makam Ki Ageng Pandanaran, karena masih satu komplek. Bahkan ada pengunjung yang menginap,'' ujarnya Ahad (22/12).

Masjid ini dinamakan Gala menurut salah satu riwayat bahwa Sunan Tembayat atau merasa kurang puas dengan masjid yang didirikan di atas gunung Jabalkat. Kemudian ia menyuruh membangun lagi sebuah masjid di bawah dan diberi nama Masjid Gala. Huruf 'Ga' yang berarti satu dan huruf 'la' yang berarti tujuh. Jadi 'Gala' mengandung nilai '17' yang bermakna di dalam masjid itu dilakukan shalat 17 rakaat.

Dalam penamaannya pun, tambah Mawardi memiliki kandungan yaitu Gala, Ga satu sedangkan La artinya tujuh. Jadi 'Gala itu 17 sama dengan jumlah rekaat salat wajib sehari semalam.

Masjid Gala ini, selain berfungsi untuk  shalat lima waktu dan shalat Jumat seperti masjid lainnya, Masjid yang sering disebut Masjid Sunan tembayat itu juga digunakan untuk berbagai kegiatan. Salah satunya menggelar Istiqosah Kubro setiap malam Ahad Kliwon. Acara itu dihadiri ribuan warga dari Desa Paseban dan sekitarnya, pungkasnya. (Ahmad Rosyidi/Anam)