Daerah

Kisah Sedih Warga Pati Jalani Puasa Ramadhan saat Musibah Banjir Melanda

Sen, 18 Maret 2024 | 20:00 WIB

Kisah Sedih Warga Pati Jalani Puasa Ramadhan saat Musibah Banjir Melanda

Mbah Karti sehari-sehari berdiam diri di teras karena banjir di Dukuh Sampang, Tondomulyo, Jakenan, Pati. (18/3/2024). (Foto: NU Online/Ahmad Solkan)

Pati, NU Online

 

Sudah beberapa hari ini banjir menggenangi beberapa kecamatan di Pati, Jawa Tengah. Salah satunya di Dukuh Sampang, RT 03/02, Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati. Menurut penuturan Karti (75) banjir di Dukuh Sampang mulai terjadi pada Jumat (15/3/2024).

 

Mbah Karti, sapaan akrabnya, hidup sebatang kara alias tidak bersama suaminya, dan anaknya sudah meninggal. Rumah yang ia tempati merupakan milik orang lain yang merantau ke Jakarta. Ia merasa sedih karena bulan Ramadhan saat ini berbeda dengan Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya. 

 

“Untuk makan sahur biasanya saya ngecupke (mencolokkan) magic com yang ditaruh di atas meja, sedangkan lauk seadanya. Kalau adanya sambel ya dimakan sambel, kalau ada jangan (sayur) ya dimakan jangan (sayur), sak-sak'e (seadanya),” ujar Mbah Karti kepada NU Online, pada Senin (18/3/2024).

 

Ia mengaku, soal makan sahur dan berbuka dengan makanan seadanya. Pada Ramadhan tahun sebelumnya, kondisi masyarakat cukup kondusif. Umat Muslim di Dukuh Sampang juga bisa menjalankan ibadah puasa secara normal. Berbeda dengan Ramadhan tahun ini. 

 

“Sekarang ya sak-sak'e (seadanya). Dulu ada es waktu berbuka. Karena kondisinya seperti ini, sekarang saya hanya berharap pada orang-orang yang ingin memberi beras untuk saya masak. Susah, Mas, lha wong mlampah mboten saget (saya tidak bisa berjalan),” jelasnya.

 

Ia berharap banjir segera surut agar bisa beraktivitas seperti sedia kala. Sebab Mbah Karti merasa gusar setiap hari hanya bisa duduk termenung di kursi kayu di teras rumahnya.

 

Hal senada juga diungkapkan Lestari, seorang warga Dukuh Sampang dan tetangga Mbah Karti. Dengan adanya banjir, aktivitas menjadi sangat terbatas, apalagi waktu makan sahur dan berbuka. Lestari harus memasak dalam keadaan air menggenangi seisi rumahnya. 

 

"Pokoknya kalau ada kursi atau meja yang tinggi dipakai untuk ngecupke (mencolokkan) magic com untuk memasak nasi. Sekarang masih mending masih ada magic com, dulu malah pakai pawon,” katanya

 

“Kalau buka ya begini, kaki terendam banjir sambil makan berdiri atau kalau ada meja atau kursi yang tinggi, dibuat duduk. Soalnya meja dan kursi dipakai untuk menaruh barang-barang penting lainnya,” tambah Lestari.

 

Terkait pelaksanaan shalat tarawih, di sana berjalan normal di tengah kondisi tidak normal karena banjir. Masjid yang terletak di Dukuh Sampang tersebut masih bisa dipakai untuk shalat lima waktu dan shalat tarawih.

 

“Alhamdulillah kalau shalat tarawih masih berjalan seperti biasa, karena airnya tidak sampai masuk masjid,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Lestari mengaku tidak begitu risau karena banjir yang terjadi di wilayah Dukuh Sampang dan sekitarnya sudah terjadi dari zaman sejak ia kecil.

 

Namun, ada sedikit kendala yang dihadapi Lestari dan warga lain yang terdampak banjir, seperti mobilitas atau aktivitas menjadi terbatas bahkan kesulitan. Apalagi untuk menjalankan shalat lima waktu.

 

“Ada susah dan sedihnya. Biasanya poso kepenak (puasa enak) dan blonjo kepenak (belanja enak), sekarang susah blonjo (belanja) buat sahur dan berbuka,” pungkasnya.