Daerah

Kisah Dai di Wilayah 3T: Tantangan Dakwah di Kepulauan Karimunjawa

Jum, 5 April 2024 | 15:01 WIB

Kisah Dai di Wilayah 3T: Tantangan Dakwah di Kepulauan Karimunjawa

Salah satu kegiatan keagamaan masyarakat Kepulauan Karimunjawa. (Foto: dok istimewa)

Karimunjawa adalah sebuah kepulauan di Laut Jawa, sekitar 80 kilometer sebelah utara Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kepulauan ini terdiri atas 27 pulau kecil, dan pulau yang terbesar disebut Karimunjawa. Karimunjawa punya pantai berpasir putih, perairan jernih, dan terumbu karang yang indah. Sebagian besar vegetasi alaminya adalah hutan tropis. Karimunjawa punya sumber daya laut yang sangat melimpah.


Sebagian besar penduduk Karimunjawa bermata pencarian sebagai nelayan dan petani. Masyarakat di sana hidup sederhana. Mereka mengandalkan pertanian lokal dan makanan laut seperti kelapa, jagung, ubi jalar, ikan, udang, dan cumi. Mayoritas penduduk Karimunjawa beragama Islam. Hampir di setiap desa ada satu masjid dan beberapa mushalla.


Salah satu dari 500 dai yang dikirim oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama ke Desa Kemojan, Pulau Karimunjawa, Ustadz Fiki Fatwa Khulaifi, mengatakan, salah satu persoalan yang dihadapi oleh umat Islam di Karimunjawa, terutama yang berprofesi sebagai nelayan, adalah soal pelaksanaan shalat. Mereka pergi ke laut dari pagi sampai sore atau sore hingga dini hari dan biasanya masih berada di tengah laut ketika waktu shalat fardlu sudah tiba.


Sebagian dari mereka, lanjutnya, yang meninggalkan shalat karena mereka masih melaut. Mereka kemudian menggganti (qadha) shalatnya ketika sudah sampai di daratan. Namun sebagian yang lain, yang tidak sadar dengan kewajiban shalat, tidak melakukan qadha shalat. Banyak di antara mereka yang awam dengan persoalan agama dan hanya ikut-ikutan saja dalam beragama. Mereka menganggap bahwa shalat itu persoalan yang bisa diatur pengerjaannya.


“Melihat fenomena itu sungguh menggugah hati nuraniku yang terdalam. Bagaimana tidak, shalat yang merupakan fondasi agama ini masih belum secara istiqomah ditegakkan,” cerita Ustadz Fiki, Minggu (31/3/2024) lalu.


Ustadz Fiki mengaku memahami kondisi umat Islam di Karimunjawa. Di satu sisi mereka harus mencari nafkah dengan menangkap ikan di tengah laut. Di sisi lain ada kewajiban shalat fardlu yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Atas persoalan itu, ia berharap, para dai dan ulama setempat bisa menyampaikan materi dakwah yang bersifat duniawi dan juga ukhrawi.


“Kami melihat memang wilayah ini perlu ada suatu model dakwah yang bisa menyentuh masyarakatnya untuk bisa seimbang dalam dunia serta akhiratnya. Peran ulama serta dai dalam menyeru kepada masyarakat sangat besar,” terangnya.


Dari Adzan hingga Imam

Ustadz Fiki menceritakan, ia pernah menemukan satu mushola di mana tugas azan, pujian/shalawatan, iqamat, dan menjadi imam dilakukan oleh satu orang. Orang tersebut tidak hanya melakukannya di satu waktu shalat saja, tetapi di lima waktu shalat dalam sehari.


“Ternyata, ada sosok sentral di mushola itu yang memborong semua pahalanya. Yaitu, tugas adzan, pujian, iqamat, imam itu satu orang tersebut,” kisah seorang Pengajar di Madrasah Diniyah Takmiliyah ini.


Umat Islam di Karimunjawa secara umum memang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah al-Nahdliyah, namun ada juga menjadi warga Persyarikatan Muhammadiyah dan Jamaah Tabligh. Penduduk Karimunjawa terdiri atas Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bugis, dan Suku Bajo. Suku Jawa merupakan mayoritas di Pulau Karimunjawa, Pulau Parang, Pulau Nyamuk dan Pulau Genting.


Menurut Ustadz Fiki, para dai 3T Kemenag mendapatkan informasi terkait kondisi umat Islam lokal dari KUA setempat. Para dai kemudian melakukan pemetaan wilayah dakwah dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti camat, kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, dan lainnya, dan membuat rencana kegiatan. Ini penting agar pesan-pesan dakwah bisa disampaikan secara efektif.


Berharap pendirian pesantren

Ustadz Fiki menyebut, masyarakat Karimunjawa berharap Kemenag bisa memfasilitasi pendirian pesantren di sana. Ide pendirian pesantren dimaksudkan agar anak-anak mereka punya pondasi agama yang kuat dan sebagai filterisasi di tengah maraknya turis asing yang berpakaian terbuka di sana.


“Wisata bahari di Karimunjawa sudah menarik kedatangan turis-turis asing. Mereka ingin menikmati keindahan alamnya,” katanya.


Ia mengaku prihatin karena alam dan pantai yang indah belum bisa memberikan dampak yang baik atau kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Selama ini tempat penginapan dan tempat-tempat yang indah di Karimunjawa dikelola dan dimiliki oleh orang asing atau orang luar Karimunjawa.


Dikatakan, masyarakat Karimunjawa sepakat jika pengelola wisata adalah pemerintah daerah sendiri dan masyarakat setempat. Namun ini perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah pusat.


“Jika itu bisa dilakukan, sangat mungkin muncul wilayah seperti Bali atau Lombok yang terkelola dengan bagus guna pendapatan tambahan daerah serta masyarakat,” ucapnya.


Ustadz Fiki juga bercerita bahwa masyarakat setempat juga mengusulkan agar pemerintah daerah bisa mengeluarkan surat keputusan tentang sinergitas antara tata kelola wisata di Karimunjawa dengan kearifan lokal. Setiap wisatawan, baik lokal maupun mananegara, diberi sambutan yang hangat dan dikawal untuk melihat gedung kesenian.


“Para wisatawan bisa dipinjami atau sewa pakaian adat setempat. Diharapkan para wisatawan akan senatiasa dikawal baik kedatangan hingga kepulangan mereka,” jelasnya.


Dalam pandangan Ustadz Fiki, usulan-usulan itu perlu diperhatikan dan direalisasikan oleh pihak-pihak terkait agar potensi wisata Karimunjawa bisa dikembangkan dengan baik dan masyarakat setempat tidak khawatir anak-anaknya akan terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik dari para wisatawan.