Daerah

Kiai Buntet Jelaskan Ayat Taubat yang Berpotensi Disalahpahami

Ahad, 25 Oktober 2020 | 17:09 WIB

Kiai Buntet Jelaskan Ayat Taubat yang Berpotensi Disalahpahami

Pengasuh Pondok Darussalam Buntet Pesantren Cirebon, KH Tb Ahmad Rivqi Chowwash. (Foto: Istimewa)

Cirebon, NU Online
Peringatan Hari Santri yang jatuh tiap 22 Oktober sudah semestinya dijadikan sebagai momentum melakukan taubat. Sebab, semua manusia pasti pernah berbuat dosa dan maksiat sehingga perlu segera bertaubat. Taubat merupakan pondasi ibadah dan landasan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.


Demikian disampaikan Pengasuh Pesantren Darusalam Buntet Pesantren Cirebon, KH Tb Ahmad Rivqi Chowwash, saat mengisi peringatan Hari Santri 2020 dengan mengaji bab Taubat, Rabu (21/10).


“Pesantren mayoritas diisi oleh orang-orang yang bertaubat, orang-orang yang ingin meninggalkan perbuatan buruk dan menggantikannya dengan perbuatan baik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,” ujarnya.


Dalam kesempatan tersebut, Kiai Ahmad Rivqi menyoroti dan mengutip firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 17 yang berpotensi bisa menimbulkan salah paham jika merujuk pada terjemahan Al-Qur’an yang beredar di masyarakat.


Dikatakannya, dalam terjemahan surat An-Nisa’ ayat 17 kurang lebih ditulis: “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 


“Seakan-akan ayat itu menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa dan mengetahui hukumnya tidak pantas bagi Allah untuk menerima taubatnya, dan taubat yang diterima hanya taubatnya orang yang berbuat dosa dan tidak mengetahui hukumnya,” paparnya.


Padahal, lanjut dia, maksud dari ayat tersebut tidak demikian. Sebab, berdasarkan pemaparan ahli tafsir, orang yang alim dan mengerti hukum kemudian dia tetap berbuat dosa maka sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok juhala’ (orang bodoh).


“Artinya ketika dia berbuat dosa ilmunya dicabut oleh Allah. Sepintar apapun dia dalam ilmu agama ketika dia berbuat dosa, maka sesungguhnya dia dalam keadaan bodoh. Jadi, ilmunya diambil dulu oleh Allah,” ujarnya.


Dengan demikian, tambahnya, taubat yang diterima oleh Allah adalah taubat dari semua orang yang pernah berbuat dosa meskipun dia tahu hukumnya. Adapun berbuat dosa bagi orang yang tidak mengerti hukumnya maka hal itu tidak dianggap dosa.


“Misalnya ada orang yang tidak tahu bahwa makan babi itu haram kemudian dia makan babi maka dia tidak berdosa sebab tidak mengerti hukumnya,” imbuhnya.


Syarat-rukun taubat
Ditambahkannya, dalam melaksanakan taubat mesti memenuhi tiga unsur yang menjadi syarat dan rukun taubat. Pertama, menyesali semua perbuatan dosa atau maksiat yang telah dilakukan. Kedua, meninggalkan semua perbuatan buruk. Ketiga, mengembalikan sesuatu kepada orang yang pernah didzalimi.


“Atau dengan kata lain istihlal, minta dihalalkan atas semua perbuatan dosa yang telah dilakukan kepada orang lain,” tambahnya.


Lebih lanjut ia mengatakan, dengan melakukan taubat akan memberikan ketenangan dan ketenteraman dalam hati sehingga cahaya kebenaran dan cahaya ilmu akan lebih mudah diterima.


“Kemudian Imam Qusyairi mengatakan dalam bertaubat sebaiknya menghindari lingkungan yang tidak baik agar tidak terpengaruh dan terjerumus pada pada perbuatan yang tidak baik,” tambahnya.


Untuk itu, dalam momentum Hari Santri, ia mengajak semua umat Islam terlebih lagi bagi para santri untuk melakukan taubat atas semua perbuatan buruk yang telah dilakukan dan menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baik.


Ia menambahkan, jika semua umat Islam mampu melaksanakan taubat maka hal itu akan membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Dengan bertaubat, maka akan berimbas kepada perilaku individu yang berakhlakul karimah sehingga segala tatanan dunia akan menjadi kondusif dan mengarah kepada kemanfaatan sosial atau al-mashlahah al-'aammah,” pungkasnya.


Kontributor: Aiz Luthfi
Editor: Musthofa Asrori