Daerah

Kalangan Santri Konsisten Melawan Penjajah

NU Online  ·  Ahad, 30 Juni 2013 | 11:03 WIB

Malang, NU Online
Sejak Walisongo mendakwahkan Islam secara besar-besaran di tanah Jawa, Walisongo mengajarkan cinta tanah air, dan mengakui dengan bangga sebagai masyarakat pribumi yang memegang teguh nilai-nilai Islam. 
<>
“Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tulisan yang terdapat dalam kitab Walalindo yang bertuliskan dengan huruf Jawa bukan huruf Arab,” terang Agus Sunyoto dalam kajian rutin di Pesantren Global, Jum’at (28/06), di Pakis Malang.

Hanya saja, peradaban yang sudah dibangun kuat oleh Walisongo berangsur memudar, dengan masuknya pegaruh Barat, para santri mulai tidak bisa lagi membaca tulisan Jawa. Hal inilah yang dijadikan senjata oleh Belanda untuk masuk dengan menghapus keunggulan-keunggulan masyarakat pribumi.

Hingga lahirlah sebuah putusan peraturan kependudukan Hindia Belanda yang menyebutkan, bangsa kelas satu adalah orang kult putih (Belanda), kemudian Arab dan bangsa kelas rendah adalah inlander yakni masyarakat pribumi, dalam hal ini satu-satunya yang menolak adalah kalangan pesantren, dengan alasan para Belanda adalah orang-orang kafir, dan masyarakat pribumi lebih unggul dari para penjajah.

“Hal ini bisa dibaca langsung di dalam arsip kolonial yang terdapat di Jakarta,” tegas penulis Atlas Walisongo itu.

Tidak cukup di situ, konsistensi pesantren dalam membela kaum pribumi sangat terlihat pada perlawanan-perlawanan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro, dan terus berlanjut oleh para pengikutnya yang menyebar di pesisir dan seluruh pulau Jawa.

Terbukti dengan perlawanan para santri di pulau Jawa yang tercatat hingga 120 lebih, dipimpim guru-guru thoriqot kala itu. Perlawanan inilah yang menjadi batu ganjalan bagi Belanda, hingga muncullah istilah kalangan pesantren primitive. 

“Para santri disebut sebagai masyarakat primitif, karena sering melawan Belanda,” imbuh Agus Sunyoto yang juga pengasuh pesantren.


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Diana Manzila