Tangerang Selatan, NU Online
Bagi para pemula, kitab Safinatun Najah atau Safinah karangan Syaikh Sumair al-Hadrami al-Batawi merupakan kitab fikih biasa yang membahas dasar ibadah dan ditulis dengan bahasa sederhana. Namun ketika dilihat dari sejarah intelektual, kitab tersebut memiliki peran besar bagi gugusan intelektual yang tidak terputus.
Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya usaha untuk mensyarahi kitab tersebut, baik oleh ulama Nusantara maupun Timur Tengah dengan berbagai bahasa dan corak.
“Sebenarnya kitab lain yang sejenis seperti Ghayatut Taqrib, Al Riyadh al Badi’ah, Masail al Ta’lim, al Duraral Bahiyyah, dan sejenisnya juga banyak disyarahi para ulama. Namun di antara semua itu yang paling populer dan banyak memiliki syarah adalah kitab Safinatun Najah,” kata A Ginanjar Sya’ban saat mengisi diskusi yang diselenggarakan Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (25/3).
Kitab Safinatun Najah merupakan kitab yang dikarang pada abad ke-19 oleh seorang Hadrami yang memilih hidup di Batavia. Jika diteliti secara seksama, maka banyak ditemukan salinan manuskrip dari kitab tersebut di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS).
Salah satu pensyarah dari kitab Safinatun Najah adalah muridnya Syaikh Sumair yakni Syeikh Nawawi Al Bantani dalam bahasa Arab dengan judul Kasyifatussaja fi Syarakh Safinatin Najah yang ditulis pada tahun 1875. “Kitab tersebut banyak dicetak di Timur Tengah, Saudi, Libanon, Turki, dan lain-lain,” ungkap Direktur INC ini.
Syarah lain dari kitab tersebut juga ditulis ulama Nusantara yang mengajar di Makkah dengan judul Sullamul Raja karangan Syaikh Utsman bin Said Tangkil, Jambi pada tahun 1932. Kitab ini selain ditulis di Makkah, juga menjadi pegangan di madrasah Shaulatiyyah Makkah, tempat mengajar Syaikh Utsman. Sayangnya, kitab tersebut tidak terkenal di Tanah Air.
Dari kitab tersebut kemudian digubah dalam bentuk nadzam dengan bahasa Arab yang puitis oleh Kiai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pasuruan sewaktu masih remaja dengan judul Tanwir al Hija Nazham Safinahun Naja.
Yang lebih menarik lagi, kitab tersebut disyarah oleh Syaikh Muhammad Ali bin Husain al Maliki al-Makki, yang merupakan seorang mufti Malikiah di Makkah dengan judul Inarah al Duja Syarah nazam Tanwir al Hija. “Bagaimana mungkin kitab berpaham Syafi’i dituliskan lagi oleh seseorang yang bermadzhab Maliki?,” komentarnya.
Dalam kitab Inarah al Duja sang penulis mengungkapkan: "Sesungguhnya nazham Safinahun Naja yang bernama Tanwirul Hija karangan al ‘alim, al fadhil, al rabbani itu sangat bagus, maka saya ingin bertabarukan pada Syaikh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pasuruan dengan mengulas dan mensyarakh nazham tersebut."
“Padahal Kiai Qusyairi itu masih remaja, tapi sudah mendapat gelar al ‘alim, al fadhil, al rabbani dalam kitab tersebut,” tambahnya.
Selain itu, Kiai Ma’shum Siraj, Gedongann, Cirebon juga pernah menadzamkan kitab Safinah berbahasa Arab dengan judul Nail al Raja yang kemudian disyarahkan oleh Kiai Sahal Mahfuzh dengan judul Faid al Hija.
“Saya melihat Kiai Sahal ini merupakan ulama terakhir yang memiliki geliat penulisan yang kuat. Selain beliau perlu dibangkitkan lagi semangat menulisnya,” ucapnya.
Menurut Ginanjar, syarah-syarah dari kitab Safinah yang disebutkan tadi yang termasuk dalam bahasa Arab, sedangkan yang dalam bentuk bahasa lokal masih banyak lagi, seperti dalam bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan sebagainya.
“Itulah jika kita mengkaji melalui kosmopolitanisme sebuah teks, Safinah itu manuskripnya hanya berjumlah 16 lembar, namun sangat luar biasa dalam menghubungkan satu ulama dengan ulama lain sehingga membentuk suatu jaringan,” paparnya. (Nuri Farikhatin/Ibnu Nawawi)