Daerah

JAM PMII Walisongo Gelar Diskusi Komunitas Kajian

Kam, 4 April 2013 | 04:32 WIB

Semarang, NU Online
Jaringan Alumni Muda (JAM) PMII Rayon Tarbiyah Komisariat Walisongo Semarang menggelar acara yang bertajuk Rembug Bareng dengan seluruh kader-kader PMII Rayon Tarbiyah dari berbagai angkatan, Rabu (3/4).  

<>

Acara yang dihelat di auditorium gedung Q Fakultas Tarbiyah itupun sukses menyedot sekitar seratus kader dari lintas angkatan. Turut serta memeriahkan acara ini adalah penampilan rebana dari UKM BITA Fakultas Tarbiyah.

Dengan mengusung tema “PMII, Kader dan Orientasi Ekstra-Akademis Pasca Studi” acara diskusi itu diharapkan mampu memotivasi kader-kader untuk giat menggeluti dunia intelektual. Tumpulnya geliat intelektualitas pasca lulus inilah yang membuat JAM menginisiasi untuk membuat acara ini. Seperti yang diungkapkan Amin Suroso selaku kordinator JAM, “Geliat intelektualitas harus selalu dijaga. 

Tidak hanya ketika masih di kampus, pasca lulus juga wajib mempertahankannya” ujar Suroso ketika membuka acara. Suroso menambahkan bahwa acara diskusi kali ini sebagai peringatan sekaligus refleksi menjelang 53 Tahun PMII.

Narasumber dari diskusi ini pun tergolong orang-orang yang memang telah lama bergelut dalam bidang intelektualitas. Seperti Abdul Khaliq selaku Pembina PMII Rayon Tarbiyah dan dosen Fakultas Tarbiyah, Fatkhurrozi yang juga alumni IAIN angkatan 97 dan sekarang menjadi Direktur LRC KJHAM Semarang, serta narasumber terakhir adalah Tedi Kholiluddin selaku Direktur Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSA) Semarang dan alumni PMII Rayon Syari’ah.

Pupuk Semangat
Mengawali diskusi, Abdul Kholiq menyampaikan bahwa pentingnya peran PMII dalam mewarnai geliat intelektual baik di dalam kampus ataupun diluar kampus. Kholiq pun menambahkan bahwa peluang PMII sebagai organisasi ekstra kampus yang berbasis gerakan seharusnya harus turut serta andil dalam percaturan intelektualitas yang semakin semarak dewasa ini. 

“PMII itu organisasi gerakan, selain bergerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan, PMII juga harus bergerak dalam bidang wacana dan tulis menulis,” ujarnya.

Sedangkan menurut fatkhurrozi, PMII sebagai organisasi gerakan yang memiliki basis kader yang besar seharusnya mampu menjadi alternatif pemikiran ditengah problem sosial di masyarakat. Apalagi sudah banyak diketaui bahwa PMII yang notabene masih menjadi darah kandung dari NU adalah organisasi yang mayoritas anggotanya dari kalangan bawah. 

Pria yang akrab disapa Ozi inipun mengungkapkan bahwa PMII sudah punya modal intelektual yang tinggi, “Sebenarnya kita sudah punya modal, yaitu sikap moderat, toleran dan inklusif. Sikap-sikap itulah yang menjadi akar intelektualisme PMII ditengah masyarakat.”

Sementara itu, Tedi Kholiluddin selaku narasumber yang berbicara paling akhir bercerita seputar pengalaman membangun komunitas intelektual dimasing-masing kota besar. Tedi mencontohkan besarnya komunitas intelektual yang berbasis kader PMII di Jakarta (Piramida Cycle) dan Jogja (LKiS) yang pada awal perkembangannya tidak pernah lepas dari berbagai kendala. Terutama menurut Tedi adalah persoalan semangat dan kontinuitas dalam belajar. 

“Jangan lihat kebesaran LKiS sekarang ini. Di balik itu semua, mereka (LKiS) membangun komunitas intelektualnya berawal dari diskusi secara kontinu di kontrakan. Jadi ketika LKiS sekarang sudah besar, maka itu semua adalah buah dari semangat dan pengorbanan berdarah-darah waktu itu,” tutur kandidat Doktor dari UKSW ini. 

Tedi pun menambahkan kegiatan diskusi dan membangun komunitas intelektual merupakan bagian dari passion, kehendak yang memang harus direalisasikan untuk kebutuhan batin. Menurutnya, pentingnya mengkaji teori-teori dan problem sosial merupakan keharusan sebagai tanggung jawab dari agen perubahan sosial yang selama ini melekat di mahasiswa. 

“Ada ataupun tidak adanya dana, diskusi harus tetap jalan, karena ini adalah passion. Kebutuhan untuk memuaskan sesuatu yang tidak bisa dimaterialisasikan” tegasnya.

Kontributor: Eko Supraptio