Jadikan Halal bi Halal Momentum Rekonsiliasi Pascapemilu
NU Online · Jumat, 7 Juni 2019 | 13:00 WIB
Pengasuh Pondok Pesantren Modern Al Falah Jatirokeh, Songgom, Brebes, Jawa Tengah KH Nasrudin mengajak para elit politik dan masyarakat untuk segera mengakhiri perbedaan yang mengarah kepada perpecahan karena pilihan politik yang berbeda.
Ia mengajak semua elemen menyatukan visi dan misi sebagai umat Islam Indonesia untuk membangun Indonesia.
"Adanya saling beda pendapat tentang berbagai hal, adanya perselisihan harus diakhiri. Solusinya, dengan menggunakan momentum halal bi halal, bersilaturahmi," kata kiai yang karib disapa Kaji Nas kepada NU Online di kediamannya, Kamis (6/6).
Menurutnya, halal bi halal yang banyak digelar umat Islam saat Hari Raya Idul Fitri merupakan sarana yang efektif untuk kembali meneguhkan tali silaturahmi di antara anggota ataupun kelompok masyarakat.
Terlebih, pasca-pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) di mana banyak kelompok atau antar warga yang berselisih lantaran beda pilihan.
Kaji Nas pun menelisik kembali sejarah awal mulanya tradisi halal bi halal di Indonesia. Ia berkisah ketika KH Wahab Chasbullah melihat terjadi deadlock di Badan Konstituante tahun 1955. Akibat kondisi ini para politisi nasional gagal membentuk undang-undang baru dan menimbulkan konflik secara nasional.
Perselisihan tersebut disikapi oleh KH Wahab Chasbullah dengan mencetuskan istilah halal bi halal dan menginisiasinya untuk mengakhiri konflik tersebut. "Nah, hasilnya adanya pengembalian ke UUD 1945 yang dikenal Dekrit Presiden 5 Juli 1959," paparnya.
Kaji Nas menyebut para tokoh ulama ketika itu juga mendorong untuk berhalal bi halal dalam bentuk pengajian yang sampai sekarang masih tetap lestari. "Meskipun ada yang menganggap bid'ah karena pada zaman Rasulullah kegiatan keagamaan seperti halal bi halal tidak ada," terangnya.
Namun lanjutnya, kegiatan halal bihalal adalah bid'ah hasanah yakni bid'ah yang menuju kebaikan. Bahkan dalam sebuah hadits, nabi menyarankan agar berbuat yang baik jika ingin berbahagia di dunia maupun di akhirat.
"Pada hakikatnya saling memaafkan, bukan karena baju, warna politik, dan lain sebagainya, berhalal bi halal, bersilaturahmi, berlebaran menjadi indah pada akhirnya," jelasnya.
Mantan anggota DPR-RI itu memaparkan, saat lebaran ada sesuatu yang harus dikembalikan yakni hak-hak orang lain. Jangan dianggap ketika memiliki kelebihan harta itu adalah milik sendiri. "Tetapi sesungguhnya ada harta titipan dari Allah yang harus diberikan kepada para fakir dan miskin," ucapnya.
Dia meyakini jika rakyat Indonesia yang memiliki harta lebih patuh membayar zakat sesuai dengan ketentuan, maka ketika lebaran tidak ada lagi anak kecil merengek-rengek minta baju dan minta uang jajan.
"Jangan beranggapan dengan berzakat hartanya akan berkurang. Allah berjanji akan melipatgandakan harta yang dizakati," pungkasnya. (Wasdiun/Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
5
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
6
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
Terkini
Lihat Semua