Daerah

Islam Itu antara Semangat Menggebu dan Toleransi Nyata

Ahad, 22 Desember 2019 | 00:45 WIB

Islam Itu antara Semangat Menggebu dan Toleransi Nyata

Seminar nasional silang pendapat makna radikalisme di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. (Foto: NU Online/Syarif Abdurrahman)

Jombang, NU Online 
Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur KH Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwasanya الاسلام بين حماسة والسماحة. Dalam bahasa Indonesia berarti Islam itu berada di antara semangat yang menyala dan toleransi yang nyata.
 
Hal ini tergambar dalam perintah agama Islam yang mengajarkan kepada penganutnya untuk mempunyai semangat yang tinggi dalam mendakwahkan Islam, menjalankan amar ma’ruf, dan nahi mungkar.
 
Di samping semangat yang tinggi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah toleransinya. "Radikal secara menyeluruh adalah habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak," jelasnya saat mengisi acara seminar nasional silang pendapat makna radikalisme di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (21/12).
 
Lanjutnya, jika ada penganut agama Islam yang mempunyai semangat dalam mendakwahkan agama Islam dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka itu bukan radikal. Akan tetapi di sisi lain agama Islam mengajarkan menghargai pendapat (bertoleransi kepada pihak lain yang berbeda pendapat).
 
Seseorang tidak boleh menjadikan dirinya radikalisme saja, akan tetapi harus dibarengi dengan sikap bertoleransi menghargai perbedaan segala pihak. Al-Qur'an mengajarkan untuk tidak mudah mengafirkan orang lain.
 
Islam mengajarkan agar tidak perlu mengurus pihak lain terlalu ke bagian mendalam, Islam mempunyai orientasi taghyir, revolusi yang bertahap bukan mendadak.
 
"Dapat disimpulkan bahwasanya semangat dalam berdakwah tidak boleh menghilangkan rasa saling menghormati," ujarnya.
 
Dalam politik, Kiai Muhajir mengatakan makna radikalisme adalah paham aliran yang radikal dalam politik, paham aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis.
 
"Ini kurang cocok sama Islam. Karena Islam menghargai proses," tandasnya.
 
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin