Daerah

Ijazah Kubro Kitab Syekh Nawawi untuk Para Kiai

NU Online  ·  Rabu, 21 November 2018 | 13:45 WIB

Tangerang, NU Online
Dihadiri ribuan jamaah yang memadati lapangan, Ketua Umum MUI Pusat, KH Ma'ruf Amin memberikan ijazah kitab Qomi'ut Thughyan kepada ratusan kiiai, ustadz, dan para ustadzah di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Pasirnangka, Kecamatan Tigaraksa Tangerang, Senin (19/11).
 
Selain oleh MUI se-Kabupaten Tangerang, acara tersebut dihadiri oleh pimpinan ormas Islam, Muspika, Muspida, dan kaum ibu yang terhimpun dalam majelis taklim se-Kabupaten Tangerang.

Dari pihak MUI Kecamatan Sukadiri yang mendapatkan ijazah langsung di antaranya H Taufiq Munir (Ketum), KH Mukhlis Husin (Penasihat), dan Ustadz Tendi Hidayat (Komisi Pendidikan dan Kaderisasi).

Acara yang bertajuk Silaturahim, Ijazatul Kubro dan Dialog Kebangsaan yang bertema Merawat Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah, dan Ukhuwah Insaniyah tersebut disambut meriah oleh masyarakat dan para pimpinan pondok pesantren. Pasalnya 'ijazah', dalam tradisi pesantren merupakan sebuah lisensi bagi para kiyai untuk mengajarkan sebuah ilmu atau kitab kepada santri-santrinya. 

Alasan mengapa kitab Qomi'ut Thughyan, KH Ues Nawawi, pimpinan Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin menyatakan bahwa kitab ini merupakan salah satu kitab yang paling penting di antara puluhan kitab karya syekh Nawawi Al Bantani di bidang aqidah (tauhid).

"Ini relevan untuk membentengi generasi milenial dari akidah-akidah yang merusak," katanya.

Memahami Ijazah Kitab Kuning

Pemahaman 'ijazah' di sini sama sekali bukan 'selembar kertas ijazah tanda kelulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang kemudian digunakan untuk melamar pekeraan' yang biasa dipahami orang-orang Indonesia saat ini. 

Di Nusantara, tradisi 'sanad' dan 'ijazah' masih benar-benar dijaga hingga kini di dalam lingkungan pesantren tradisional (NU). Di beberapa pesantren di Jawa, khususnya Banten, setiap selesai mengkhatamkan sebuah kitab, sang kiai pasti akan memberikan ijazah dan sanad atas kitab tersebut. Ijazah akan menghubungkan genealogi intelektual, sambung menyambung tanpa putus, hingga ke pengarangnya.

Tradisi 'sanad' dan 'ijazah' ini, khususnya periwayatan, lebih sangat dijaga lagi dalam bidang keilmuan hadits. Abdullâh ibn Mubârak, ulama besar hadits generasi awal (w. 797 M) berkata; “Sanad adalah bahagian dari agama. Jika saja tidak ada sanad, orang akan berkata apa saja yang ia kehendaki”. (AG Sya’ban/Kendi Setiawan)