Daerah

Dua Kemungkinan Persentuhan Agama dengan Realitas Sosial

Ahad, 23 Februari 2020 | 06:00 WIB

Dua Kemungkinan Persentuhan Agama dengan Realitas Sosial

Pakar Aswaja Center PWNU Jawa Timur, H. Azizi Hasbullah Urboyo, menjadi pemateri Dirasah Aswaja di Pesantren Miftahul Ulum, Bettet, Pamekasan. (Foto: NU Online/Hairul Anam)

Pamekasan, NU Online

Secara makro, eksistensi ajaran agama termasuk Islam senantiasa bersentuhan dengan realitas sosial kultural yang mengitarinya. Dalam perspektif historis, persentuhan ajaran agama dengan realitas sosial kultural dan perjalanan waktu menjumpai dua kemungkinan.

 

Demikian ditegaskan Pakar Aswaja Center PWNU Jawa Timur, KH. Azizi Hasbullah Urboyo, saat menjadi pemateri Dirasah Aswaja di Pesantren Miftahul Ulum, Bettet, Pamekasan, Jawa Timur, Ahad (23/2).

 

Pertama, terang Kiai Azizi, saran dan dakwah agama mampu memberikan pengaruh. Bahkan, sukses mengubah lingkungan sosial kultural.

 

"Dalam artian, mempengaruhi dan mengubah pandangan hidup, sikap, dan perilaku masarakat," tegasnya.

 

Kedua, tambahnya, ajaran agama atau setidak-tidaknya persepsi dan penghayatan ajaran tersebut selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial kultural serta perubahan waktu dan tempat.

 

"Dengan kata lain, arti pemahaman dan penghayatan serta penafsiran terhadap ajaran agama dapat berubah-rubah karena lingkungan dan perkembangan waktu," ujar Kiai Azizi.

 

Dalam pemaparannya, Kiai Azizi juga menyinggung masalah kebudayaan. Katanya, jika budaya tersebut bertentangan dengan dalil syar'i, maka bukan semata mata budaya kita hilangkan, akan tetapi sudut-sudut yang bertentangan dengan syara' tersebut diperbaiki.

 

Kiai Azizi mencontohkan pengamalan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) berupa sedekah, tahlilan yang dilakukan tepat tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dari kematian orang Islam.

 

"Itu dipengaruhi dengan adanya budaya sebelumnya, yakni budaya orang Hindu yang dulu dilakukan untuk mengungkapkan rasa duka dan merana yang jelas melanggar aturan syara'," ungkapnya.

 

Kemudian setelah Islam yang beraliran Ahlissunnah wal Jama’ah datang, budaya kumpul tersebut tidak dihilangkan. Tetapi, acara ungkapan merana dan duka diganti dengan berzikir kepada Allah.

 

Spirit berdakwah seperti itulah salah satu mutiara dalam kandungan paham Aswaja. Karenanya, paham Aswaja mesti juga jadi sarana penggerak perubahan sosial kultural di lingkungan masyarakat, minimal dari pribadi-pribadi dan kehidupan berkeluarga.

 

Dari pemaparannya yang berjam-jam, Kiai Azizi menyimpulkan bahwa untuk memahami ajaran Islam versi Ahlussunnah wal Jamaah secara utuh dengan baik dan jernih, perlu adanya tiga pendekatan: pendekatan doktrinal, pendekatan historis, dan pendekatan kultural.

 

"Ketiga pendekatan tersebut mesti dikuasai oleh kita. Tanpa memahami ketiganya, maka sangat sulit mewujudkan spirit paham Ahlussunnah wal Jama’ah," tukasnya.

 

Kontributor: Hairul Anam

Redaktur: Aryudi AR