Di Tebuireng, Ketua KPAI Jelaskan Cara Hindari Kekerasan Seksual
NU Online · Rabu, 24 Desember 2014 | 16:41 WIB
Jombang, NU Online
Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang mengadakan Wisuda Tahfidh XXVI Ahad (21/12) di Halaman Belakang pesantren tersebut. Ratusan santri mengukuti wisuda yang digelar setiap tahun ini.
<>
Dalam sambutannya, Gus Sholah berbicara soal bagaimana seorang yang sudah menghafal al-Qur’an tidak sekedar puas menjadi penghafal tapi masuk pada tataran memahami, beramal dan memanfaatkannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
“Kalau yang hafal-hafal gitu ya akeh tunggale (banyak jumlahnya)”, ungkapnya. Bahkan Gus Sholah menyarankan kalau sudah lulus Mts PPMQ bisa meneruskan di SMA Trensains Tebuireng II di Jombok, Ngoro, Jombang. Disana para santri dilatih dan dibimbing untuk menganalisis al-Qur’an dikaji dari sisi saintifiknya.
Dr. HM Asrorun Ni’am Sholeh, MA dalam orasinya memaparkan bagaimana mendidik anak, menghindarkan dari kekerasan, dan memberikan contoh yang baik bagi anak. Asrorun Niam yang juga kebetulan menjadi salah wali santri ini mengatakan bahwa memilihkan lembaga pendidikan anak tidak bisa dipandang dari kelas, fasilitas, fisik dari sebuah lembaga, tapi perlu ada analisis tentang lembaga tersebut.
Ketua KPAI yang juga mantan aktivis IPNU tersebut memaparkan tentang bagaimana menghindarkan dari kekerasan, pelecahan seksual dan memilihkan lembaga pendidikan yang tepat bagi anak. Dr. Asrorun mengaku tidak pernah memaksakan kehendak sang putra untuk memilih pesantren. “Setelah mengembara di beberapa pesantren, akhirnya jatuh hati di Pesantren Madrasatul Qur’an ini. Walau awalnya karena lapangannya luas dan ada kolam renangnya”, katanya.
“Belum tentu yang internasional school itu pasti bagus, itu yang IT-IT-an lebel internasional malah terjadi kekerasan seksual, kasus bully”, terangnya. Menurutnya memilih lembaga harus dengan melakukan analisis dan kontrol. “Malah ada anak pulang dari sekolah IT tiba-tiba mengkafirkan orang tuanya”, tambahnya. Para orang tua banyak yang melihat sekolah dengan lebel, lalu lepas kontrol dan sibuk bekerja. Baginya itu kesalahan besar.
Selain itu, Dr Asrorun juga memaparkan analisa hadits tentang pemukulan anak setelah umur 10 tahun masih belum berkenan shalat. Hadits tersebut menurutnya menjelaskan kebolehan bukan kewajiban setelah tiga tahun sejak tujuh sampai sepuluh tahun. “Dari tahun ke-7 sampai 10, tiga tahun adalah waktu yang lama dan menunjukkan ada proses. Bukan belum mencontohkan, memberikan bimbingan shalat, langsung dipukul”, terangnya.
“Kebanyakan dari orang tua baru memperintahkan tiga kali dua kali belum memberikan contoh sudah memukul, tiga tahun ibu-ibu bapak-bapak”, tambahnya di depan para wali santri. Menurutnya proses inilah yang sebenarnya sangat penting bukan menitik beratkan pada pembolehan memukul.
Untuk itu Dr. Asrorun menyarankan pesantren sebagai rujuan lembaga pilihan bagi anak. Dia menyarankan agar minimal satu dari empat anak atau dua dari sepuluh anak dalam suatu keluarga untuk menjadi hufadh. Baginya itu akan menjadi benteng keluarga ketika di dunia dan kelak di hadapan Sang Pencipta.
Total keseluruhan jumlah wisudawan adalah 340 dengan rincian 50 wisudawan tahfidh dan 290 wisudawan binnadhor maju satu persatu untuk melaksanakan prosesi upacara wisuda tahfidh XXVI dengan menggenakan pakaian batik biru tua. Dari sekian jumlah itu terpilih sebagai wisudawan terbaik adalah Hasan Aly Murtadlo santri kelas III Mts. Setelah acara tersebut para santri baik peserta wisuda maupun bukan, diperkenankan untuk pulang dalam rangka libur akhir semester gasal hinggal 06 Januari 2015 mendatang. (abror/mukafi)
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
5
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua