Di Bumiayu, Kiai Basith Jelaskan Salah Kaprah Makna Hijrah
NU Online · Selasa, 26 Maret 2019 | 14:30 WIB
Jakarta, NU Online
Saat ini banyak sekali wacana tentang hijrah. Sayangnya, tidak sedikit yang salah dalam mengartikan kata hijrah. Ketua 2 LDNU Jawa Tengah, Kiai Abdul Basith dari Semarang, Jawa Tengah, menjelaskan hijrah pada dasarnya adalah saat Rasulullah pindah dari Makkah ke Madinah.
Kemudian mengalami pelebaran makna dengan berpindah dari sesuatu yang belum baik atau kurang baik menjadi lebih baik. Hijrah dalam hal budaya dikenal dengan tradisi menjaga dan melestarikan sesuatu yang baik dan mengambil sesuatu yang lebih baik.
"Jadi hijrah dalam hal budaya adalah mengambil budaya yang baik dan tidak harus budaya yang serba datangnya dari Arab," tegas Kiai Abdul Basith pada gelaran Cafe Aswaja Milenial yang diadakan Majelis Taklim Kanzul Ilmi Center di Jalan Raya Talok, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah pekan lalu.
Dalam ajaran Islam, kata Kiai Basith, akhlakul karimah merupakan ajaran yang harus dikedepankan. Seperti akhlak seorang murid kepada guru, dan guru kepada murid. Atau akhlak anak kepada orang tua. Semua tuntas dibahas di dalam Islam.
"Namun banyak orang mengikuti hijrah justru berbuat salah kaprah. Sekarang ini banyak anak yang justru mengatur orang tua, murid mengatur gurunya," lanjutnya.
Kiai Basith menyebutkan contoh, ada seorang murid yang memprotes gurunya dengan berkata, "Harusnya Bapak dalam mengajar saya harus dengan metodologi yang bagus, jadi saya mudah memahami pelajaran."
Ada juga seorang anak yang memprotes ibunya dengan, "Harusnya Ibu memberi saya uang jajan yang cukup agar saya dapat membeli berbagai macam kebutuhan saya."
Sering kali, kata Kiai Basith, kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang murid kepada gurunya atau seorang anak kepada orang tuanya. Ini merupakan hal yang tidak benar dan karenanya masyarakat harus bisa hijrah. Pindah dari hal yang tidak baik menjadi lebih baik.
Keteladanan Masyayikh
Kiai Basith lalu menceritakan kekagumannya kepada kepada masyayikh saat dirinya belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir dan mengalami kesulitan uang. Di tahun 1990-an, di mana masyarakat Indonesia mengalami krisis ekonomi, banyak anak-anak Indonesia yang sekolah di Mesir, menjadi bingung bagaimana meneruskan pendidikan mereka.
"Maka apa yang dilakukan oleh masyayikh di Al-Azhar? Mereka menyampaikan bahwa, kamu jangan pulang, jangan takut, jangan khawatir. Kalau ada masalah finansial maka pintu kantorku terbuka sebelum pintu rumahku. Insyaallah dibantu, untuk keperluan diktat ataupun untuk makan," kisahnya.
Hal ini seperti yang berlaku di pesantren, saat kiai memberikan makan gratis dan sekolah tanpa biaya kepada para santrinya. Lalu para santri pun, setelah pulang sekolah membantu kiai. Hal itu sangat memberi arti yang mendalam kepada para santri. Adab murid kepada guru pun terjaga dengan baik.
Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di media sosial. Karena merasa sudah pintar, banyak pengguna medsos memberikan komentar tanpa adab, tanpa sopan santun.
"Seperti di medsos, orang yang tidak pernah belajar agama berani menghina kiai yang belajar agama dari kecil hingga tua. Makanya kita semua harus selektif, jangan mudah percaya. Tanya pada orang yang kompeten jika tidak tahu," pungkasnya. (Kendi Setiawan)
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua