Daerah

Bukan Zamannya Lagi Saat Gerhana Mendekam di Rumah

Jum, 27 Desember 2019 | 07:30 WIB

Bukan Zamannya Lagi Saat Gerhana Mendekam di Rumah

Ketua PC LFNU Jombang, Mujazun sedang mengamati gerhana matahari cincin di halaman Masjid Baitul Mukminin. (Foto: NU Online/Syamsul Arifin)

Jombang, NU Online
Ada yang tak biasa dalam proses pemantauan gerhana matahari cincin di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (26/12). Kegiatan yang dikonsep nonton barang itu dimotori oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU), kerja sama dengan Takmir Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang.
 
Dalam proses melihat gerhana matahari itu, PC LFNU mendatangkan berbagai kalangan, mulai kalangan anak-anak, dewasa hingga orang tua. Mereka bersama diajak untuk ikut serta memantau gerhana matahari melalui sejumlah alat yang sudah disediakan di halaman masjid setempat sebagai titik pemantauan. 
 
Alasan melibatkan anak-anak yang masih menjadi santri Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) tersebut di samping sebagai edukasi tentang pengetahuan dasar terjadinya peristiwa alam yang tak biasa itu, juga untuk menghilangkan budaya lama yang masih mengakar pada sebagian masyarakat di Jombang.
 
Budaya itu adalah anak-anak dilarang keluar atau mendekam di rumah saat terjadi gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Terlebih gerhana matahari cincin. 
 
"Dulu itu saat terjadi gerhana, anak-anak harus ngumpet, tidak boleh keluar rumah melihat gerhana, apalagi gerhana matahari cincin," kata Ketua PC LFNU Jombang, Mujazun.
 
Seruan agar tidak keluar rumah itu sebetulnya ada tujuan positif kala itu, yaitu karena adanya kekhawatiran indera mata akan mengalami kerusakan (kebutaan).
 
"Hal tersebut akibat terkena cahaya kecil yang mengintip dari balik bulan tampak lebih terang dari biasanya saat proses terjadinya gerhana matahari cincin," ungkapnya. 
 
Namun, lanjut Mujazun, pada zaman teknologi yang kian berkembang seperti sekarang, budaya itu seyogyanya harus mulai ditepis. Agar masyarakat tidak memiliki ketakutan yang berlebihan.
 
Adanya beragam alat pendukung seperti binokular atau teleskop, kacamata matahari, dan sebagainya justru menjadi momentum yang baik bagi masyarakat untuk mengetahui gerhana matahari dengan jelas.
 
"Saat ini budaya itu sudah tidak relevan, banyak alat yang bisa melihat matahari secara jelas tanpa merusak penglihatan mata," jelas Mujazun.
 
Adapun beberapa pihak yang diajak melihat matahari langsung di antaranya santri pilihan TPQ Darut Taqwa Desa Ngempal, Kecamatan Perak, beberapa mahasiswa Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan, salah satu komunitas yang ada di Jombang. Tampak pula masyarakat sekitar berdatangan untuk melihat gerhana matahari cincin melalui alat yang sudah disediakan.
 
Sementara itu, Ketua Takmir Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang, Harly Yusuf Wibisono mengaku mendukung sepenuhnya akan kegiatan ini. 
 
"Kegiatan semacam ini sangat positif, perlu terus dilakukan saat terjadi peristiwa gerhana. Kami sangat mendukung," ucapnya.
 
Bahkan dirinya menyiapkan hidangan soto ayam bagi semua warga Jombang yang ikut memantau gerhana matahari. Hal ini sebagai salah wujud dukungan takmir akan diselenggarakannya observasi gerhana matahari di masjid pemerintah daerah ini. 
 
"Kami sudah menyiapkan makanan untuk saudara-saudara semua yang ada di sini," pungkasnya. 
 
 
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Ibnu Nawawi