Jember, NU Online
Aparat keamanan janga pernah ragu untuk menindak para pelaku teror. Sebab, penegakan hukum yang dilakukan aparat keamanan, dilindungi oleh undang-undang. Bahkan dengan disahkananya Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, polisi dibenarkan untuk menciduk orang yang diduga akan melakukan tindak pidana teror.
“Dengan RUU itu, polisi tidak salah jika menangkap pelaku teror meski belum beraksi, melainkan hanya dalam tahap perencanan atau pemukatan,” kata Nurul Gufron, Jumat (8/6) malam.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur ini menyampaikan pandangannya saat menjadi narasumber pada Ngaji Kebangsaan, Melawan Radikalisme dan Terorisme di gedung Gerakan Pemuda Ansor Jember, Jumat (8/6) malam.
Menurutnya, selama ini ketika bom teroris tiba-tiba meledak, sebagian orang menuding polisi telah kecolongan karena tidak dapat melakukan deteksi dini terhadap perencanaan teror. Sesungguhnya, kata Gufron, polisi bukan kecolongan. Polisi pasti sudah mencium gelagat, bahkan rencana pelaku teror untuk meledakkan bom.
“Tapi persoalaanya adalah bahwa orang yang punya gelagat dan rencana untuk melakukan aksi teror tidak bisa ditangkap kecuali aksi itu telah dilakukan,” ulasnya.
Sehingga dirinya tidak sepakat kalau hal tersebut dianggap sebagai kecolongan. “Bukan kecolongan tapi polisi tidak punya landasan hukum untuk menindak mereka yang baru berencana,” jelasnya.
Dikatakan Gofur, RUU Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme tersebut, di samping memberikan ruang yang lebih luas pada polisi untuk melakukan antisipasi dini terhadap tindak pidana terotisme, pada saat yang sama masyarakat semakin bisa terlindungi dari aksi barbar para teroris.
“Itu diharapkan semakin melindungi masyarakat dari tindak pidana terorisme,” pungkasnya. (Aryudi Abdul Razaq/Ibnu Nawawi)