Brebes, NU Online
Bupati Brebes Hj Idza Priyanti nguri-nguri tradisi nyadran sebelum datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan nyekar dan membaca yasin, tahlil dan doa di pemakaman para leluhur Bupati.
“Sebagai anak, saya berusaha untuk birul walidain kepada orang tua dengan nyadran,” ungkap Bupati usai melaksanakan kegiatan nyadran di Makam Keluarga Pesurungan Lor, Kota Tegal, Jumat (3/6).
Bupati menjelaskan, kegiatan nyadran bagi pegawai di lingkungan Pemkab Brebes sudah menjadi kebijakan yang dikeluarkan sejak dulu. Bahkan mereka diberi hak cuti nyadran selama dua hari terutama bagi pegawai yang rumahnya di luar kota. Pemkab telah membuat surat edaran tentang pengaturan cuti tahunan keperluan nyadran dan penetapan jam kerja PNS selama bulan Ramadhan tahun 2016.
“PNS diberi hak untuk cuti dua hari bagi yang menginginkan, tetapi kebanyakan tidak diambil cuti tersebut,” kata Bupati.
Saat nyadran, Bupati dan Suami Kompol H Warsidin serta anaknya Elshinta membaca surat Yasin, Tahlil dan Doa yang dipimpin KH Muzani. Tampak juga para pejabat di lingkungan Pemkab Brebes turut mendampingi nyadran keluarga Bupati.
Mereka tampak kusyu memanjatkan doa disamping makam H Ismail bin H Ali Jabidi di pemakaman keluarga Desa Pesurungan Lor. Sebelumnya, mereka juga membaca yasin, tahlil dan doa diatas pusara makam ayah dan Ibu dari Kompol Warsidin yakni Hj Rejeh binti Salwi dan H Siryad bin Daman di Pemakaman Umum Desa Krandon, Kota Tegal.
Menurut catatan sejarah, Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik.
Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan. (Wasdiun/Fathoni)