Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (8): Ilmu Ajug

Ahad, 22 Maret 2020 | 03:15 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (8): Ilmu Ajug

Ilmu ajug, menerangi yang lain sementara dirinya dalam gelap

Oleh Rahmatullah Ading Affandi 
 
Kata ajengan, memiliki ilmu sedikit tapi bermanfaat lebih baik daripada memiliki ilmu sebesar gunung, tapi tak bermanfaat.

Masih kata ajengan, "Al ilmu bila 'amalin, kasyajari bila tsamarin, ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon tanpa berbuah. Tujuannya bukan kalian punya ilmu sebesar gunung tapi tak diamalkan, aku menginginkan kalian menjadi orang yang mengamalkan ilmunya. Soal sedikit atau banyak, itu masalah nanti."

Perkataan ajengan itu, sampai sekarang aku tak pernah melupakannya karena tiap hari ia mengatakannya. Terus berulang-ulang. Bahkan di atas pintu tajuf tertulis, "al ilmu bila 'amalin... ". kalimat itu tertulis dengan jelas dan baguus, buah karya Mang Udin dan Kang Haer. Dua santri yang terkenal dengan tulisan Arab terbaik di pesantrenku.

Kemudian ajengan sering mengupas jeleknya "elmu ajug". Ilmu ajug adalah perbuatan yang memberi ilmu kepada orang lain atau memberi petuah kepada orang lain, dirinya sendiri tidak mengamlakan. Jadi, tiada beda dengan ajug, yang meneringi ke sekitar, sementara dirinya dalam kegelapan.

Terkait ilmu ajug ini dibahas oleh Ustadz Hasim saat bulan puasa, selepas shalat Jumat.

Di saat bulan puasa, tiap selepas jumatan, ajengan mengadakan muhadlarah atau ceramah (tabligh). Santri yang bertugas ceramah bergantian, terutama mereka yang terbilang santri senior seperti Mang Udin, Kang Haer, Kang Usman, Mang Ikin, dan yang lainnya. Malah Mang Ulis Desa juga, yang terkadang ikut ngaji di pondok, kadang mendapat giliran.

Suatu Jumat, yang mendapat giliran berceramah adalah Kang Uman dan Ustad Hasim. Di sebut Ustadz karena Mang Hasim selain mengaji di pondok, juga merupakan guru madrasah. Madrasah milik ajengan juga. Mang Hasim yang memimpinnya.

Di sini aku tak menceritakan tabligh dari Kang Usman, hanya ingin Ustad Hasim saja, yang membahas elmu ajug dan rahasia puasa.

Ustadz Hasim menyampaikan materi bahasannya dengan baik, isinya bagus, bahkan terkadang menggunakan kalimat-kalimat manis dan puitis. Menurutku, ia meniru gaya Ajengan Satibi yang termasyhur dan paling bagus di antara para ajengan dalam perihal berbicara. Tak hanya itu, ustadz Hasim melengkapi perkataannya dengan mengutip Al-Qur’an dan hadits Nabi.

“Sebelum memberi petuah kepada orang lain, kita harus memastikan apakah diri sendiri sudah melakukannya? Kalau jawabannya belun, jangan berani memberi petuah kepada orang lain. Sebab yang seperti itu adalah ilmu ajug, memberi petuah tentang sesuatu yang tidak dilakukannya,” jelas Utadz Hasim. 

"Orang seperti itu, ayna mahalluhu (di mana tempatnya) kelak saat di alam baka?" tanyanya kepada hadirin.

"Fi nnari jahannam (di naraka jahannam)," jawab santr-santri hampir berbarengan. 

Setelah itu, Ustadz Hasim menjelaskan hikmahnya puasa. Sudah sangat hafal di luar kepala karena begitu lancarnya ia bercerita.

“Apakah maksud puasa itu? Tiada lain adalah supaya manusia takut kepada Allah Ta’ala, la'allakum tattakun. Orang yang berpuasa akan cepat mengetahui kelemahan dirinya sendiri. Orang yang mengaku gagah perkasa akan tersadar dan merasakan lemah hanya sebab tak makan. Tak hanya itu, puasa juga akan menambah rasa kasih sayang kepada fakir miskin karena timbang rasa dan munculnya solidaritas lapar.”

“Puasa juga bisa membuat kita lebih mengenal diri sendiri. Kemudian, kalau seseorang mengenal dirinya sendiri, tentu akan mengenal Sang Penciptanya. Orang yang sudah mengenal Sang Penciptanya,  tentu ia akan merasa paling bodoh, makin merasa takut oleh Tuhan, raja sekalian alam."

"Saudara-saudara," lanjutnya, "puasa berarti menahan nafsu, sementara menahan nafsu itu bukan sekadar dimulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, tapi gemblenglah selama sebulan untuk melatih diri, berlatih perang melawan sytan laknatullah. Kalau siang harus menahan lapar dan haus. Kalau malam harus melawan rasa kantuk. Naumuka (tidurmu) harus diganti dengan memperbanyak taubat dan tafakkur,” katanya lagi. 

“Bagaiamana dengan kita?” tanyanya, “Saat siang hari kebanyakan tidur dengan harapan melupakan lapar. Selepas maghrib perut kita luar biasa penuhnya. Makanan direka-reka sebanyak-banyaknya. Akhirnya, puasa kita tiada lain hanya memindahkan waktu makan dari siang ke malam. Bahkan bisa jadi daya makan kita lebih besar saat bulan puasa dibanding bulan lain.”

“Selepas siang sengsara karena kelaparan, malamnya kita sengsara karena kekenyangan. Perlu diketahui, kalau tiap makanan kita makan akan menyebabkan penyakit, dan itu haram hukumnya. Kalau kita makan sampai berlebih-lebihan bisa jatuh kepada tindakan yang haram. Dalam kondisi seperti itu, jangankan ikut tarawih, untuk berjalan saja tak kuasa."

Seperti biasa ceramah Ustadz Hasim diakhiri dengan mengajak agar kita selalu berada di jalan yang menuntun kepada nikmat Allah. Kemudian para hadirin menjawab amin.

Selepas acara bubar, aku berjanji di dalam hati akan melakukan sebagaimana yang dipetuahkan Ustadz Hasim agar puasaku mendapatkan hikmah. Krenanya aku bersepakat dengan si Atok agar tidak menyiapkan banyak makanan untu berbuka puasa, cukup nasi liwet hangat saja, ikan asin, (peda yang dimasukkan ke dala nasi liwet saat airnya mendidih) sambal. Itu saja. Sementara lalapannya hanya mentimun dengan membeli ke warung Imi. 

Tapi bagaimanya kenyataanya? 

Waktu lapar, meskipun liwet tanpa bumbu, rasanya sangat nikmat. Nasi liwet satu kastrol, peda dua, mentimun empat dan sambel satengah cowet, dihabiskan hanya berdua dengan si Atok. Waktu memulai makan, kami berdua duduk sila, terus emok, terasa pegal emok terus sila tutug, terasa pegal, makn sambil sidengdang. Sebetulnya kami makan berdekatan dengan para santri lain, tapi masing-masing saja sesuai kelompoknya.

Selepas makan, langsung rebahan seperti serdadu mabuk arak.

Ketika kami hendak tarawih, istri Ustad Hasim datang dengan napas terengah-engah. Ia sedang mencari kayu putih sebab suaminya sakit mendadak. 

"Aku melihat tadi Ustadz Hasim tak kenapa-napa?” kataku. 

“Kejadiannya sehabis buka puasa,” jawab istri Ustadz Hasim. 

Aku tergesa menyusul yang lain yang lebih dahulu ke rumah Ustadz Hasim. Aku bersama si Atok membawa kayu putih.

Saat aku tiba di rumah Ustadz Hasim, aku mendapatinya seperti orang tak berdaya. Tampak bekas muntah di pelupuh. Kemudian dia muntah lagi meskipun sudah dibalur minyak kayu putih. Aku menduga Ustadz Hasim keracunan.

Kami semua dalam kepanikan. 

Aku dan si Atok berinisiatif memanggila mantri kilinik. Ketika sampai di rumahnya, ia sedang rebahan sambil mengelus-elus perutnya di sebuah kursi panjang. Namun, ia tidak segera berangkat ketika ada orang yang membutuhkan pertolongannya.

Aku lupa kejadian persisnya apakah waktu itu Ustadz Hasim sempat disuntik mantri atau tidak. Yang aku ingat adalah mengantar mantri kembali pulang bersama si Atok. Aku menjinjing tasnya, sementara si Atok membawa obor sebagai penerang jalan.

“Terkena penyakit apa ustadz itu, Juragan?” tanyaku penasaran.

"Ustadz Hasim itu kamerekaan (kebanyakan makan)..." jawabnya.