Cerita Pendek Fina Lailatul Masruroh
Aku mengerjap, menatapnya lekat-lekat, lalu bergantian menatap ibu setengah baya tadi yang tak lama pergi dari hadapan. Waktu itu aku dan Mas Badar sedang menunggu keberangkatan elep yang sedang ngetem lama, menunggu penumpang. Di antara waktu menunggu, tetiba seorang ibu datang menyapa Mas Badar dari luar elep. Padahal Mas Badar duduk di dekat Pak Sopir, dan aku di pinggir jendela mobil. Jadi harusnya, aku yang disapanya duluan.
"Ustaz Badar ya? Masyallah.," ujar ibu itu yang nongol dari balik jendela mobil dan tetiba menyebut nama Mas Badar. Kulihat Mas Badar hanya tersenyum, mengangguk.
"Tetap ngajar Al-Qur'an? Ya Allah semoga terus istikamah.”
Tanpa menunggu jawaban, ibu itu langsung melanjutkan ucapannya dengan doa. Mas Badar hanya menjawab dengan anggukan kepala, aku yang menjawabnya dengan kata-kata, "Enggeh Bu, doanya ya..."
Aku membatin semoga ibu ini lekas pergi. Kalau memang dia pengemis, kenapa pakai basa-basi segala, aku juga melihat Mas Badar tampak tak terlalu mengenal ibu ini.
Waktu itu suasana sekitar terminal sedang panas-panasnya, apalagi di dalam elep yang tak ber-AC, dan hanya mengandalkan AC alami. Mana ngetem-nya lama banget. Sudah hampir sejam kami menunggu di elep tua ini, dan tak ada penumpang lagi selain kami berdua. Padahal sopir tadi bilang, bakal langsung berangkat. Ah, akal-akalannya saja menunggu banyak penumpang!
Berkali-kali kuajak Mas Badar pindah ke bus, tapi ia menolak. Lalu kedatangan ibu tak dikenal itu memperpanjang kekesalanku.
"Eh, belum punya anak ya? Semoga lekas diparingi (diberi) ya..."
Ya Allah ibu ini, betapa tahunya dia tentang kami berdua.
"Enggeh Bu, doanya ya."
Hanya itu yang keluar dari mulutku, sedang Mas Badar tak meresponsnya dengan apa pun lagi. Ibu itu lalu beranjak pergi. Aku mengernyit heran, dan menatap Mas Badar lekat.
"Emang Mas kenal ibu itu?"
"Enggak, Dik."
"Loh, kok tahu nama Mas? Kok tahu kalau Sampean ngajar Qur'an? Kok tahu kalau kita belum punya anak?"
"Gak tahu juga."
"Masak sih itu keluarga Sampean? Ini kan jauh dari rumah. Nggak mungkin ada yang kenal kita," aku bergumam sendiri, heran.
"Mas," kataku lagi.
"Ya?"
"Jangan-jangan Mas wali."
"Hus, ngawur! Jangan gitu."
"Loh kenapa, asik dong punya suami yang wali."
"Jangan bilang gitu ke mas, nanti hati mas goyah. Nanti mas juga ikutan berpikir jangan-jangan mas ini wali. Udah alihkan ke yang lain aja, mungkin emang beliau kenal, cuma mas enggak."
Aku hanya mengangguk, meski dalam hati terus berkelebat: Iya ta, Mas Badar wali? Kok bisa ada yang kenal dan tahu beberapa hal tentang Mas Badar, padahal katanya Mas Badar enggak kenal sama ibu itu. Ah, masak sih Mas Badar wali? Lah wong tahajudnya aja jarang, duha kayaknya gak pernah. Puasa sunah? Bahkan sesunah puasa Arafah dan Muharram, Mas Badar enggak ngelakuin. Mas Badar sukanya cuma yutuban. Ngegame. Kalau lagi ngumpul sama temen, bisa gak tidur sampai larut malam. Masak dia sih wali?
"Dik." Tetiba Mas Badar membuyarkan lamunan.
"Hmm."
"Sudah, berhenti mikir macem-macem, gak usah mikir terlalu panjang. Banyakin istighfar, positif thinking. Gak usah nganggep masmu ini wali."
Aku melongo. Dia menegur lamunanku? Pikiran panjangku? Apa dia tahu yang kupikirkan tentangnya barusan? Benarkah laki-laki yang jarang mengajak istrinya shalat berjamaah ini, seorang wali? Dia bisa baca pikiran orang?
Aku tak peduli pak sopir yang baru men-stater elep-nya, dan elep yang kemudian berjalan amat lambat bagai keong. Pikiranku masih balau, antara penasaran dan tak terima kalau memang lelaki ini seorang wali.
Sudahlah, barangkali Mas Badar memang wali, barangkali. Ah, tapi mana mungkin?
Iya, mana mungkin Mas Badar itu wali. Lah wong ibadahnya gitu-gitu aja. Pas-pasan. Jarang puasa sunah, jarang tahajud, jarang duha. Mana mungkin ada wali begitu?
Ah ya, ibadah Mas Badar memang standart banget. Padahal, waktu remaja dulu aku suka menulis di diary, tentang sosok imam idaman. Dan dalam bayangku: suami yang baik adalah suami yang rajin beribadah, shalat tepat waktu, berjamaah, rajin baca Al-Qur'an, bangun malam buat shalat tahajud, terus puasa sunahnya juga gak pernah bolong. Tapi tak kujumpai itu dalam diri Mas Badar.
Sering hatiku berbisik sendiri: Aku iki nikah pengen ibadah, biar ibadah makin rajin. Tapi kalau Mas Badar nggak ngajak ibadah, gimana semangatnya?
Tapi suara-suara hati begitu kusimpan sendiri, tidak berani kuungkapkan. Sementara ini, yang penting ibadah fardu masih aman. Cuma ya gimana, usia semakin tua, ibadah masih gini-gini aja. Setiap bakda shalat, Mas Badar menyempatkan wirid sebentar, berdoa was wis wus, lalu langsung nyambar hp. Aku terus melanjutkan dengan bacaan Al-Qur'an, meski dalam hati tidak terima. Istrinya loh lagi baca Al-Qur'an, kenapa Mas Badar gak sadar-sadar juga?
Lalu di suatu malam, Mas Badar mengajakku makan di luar. Setibanya di tempat makan, sambil menunggu pesanan datang, aku memberanikan diri mengungkapkan segala prasangkaku selama ini.
"Mas, adik boleh jujur?"
Mas Badar mengernyit. "Sejak kapan dilarang terbuka?"
Aku mengangguk, pelan. Iya memang sejak awal pernikahan, Mas Badar selalu mengingatkanku untuk terbuka. Apa saja. Sekecil apa pun.
"Mas, jujur ya, selama ini adik sering prasangka gak baik ke Mas. Adik sering menduga-duga, kenapa Mas gini ya? Mas kok gak rajin ibadahnya? Mas gak pernah puasa sunah, tahajudnya juga jarang. Padahal kan ya, adik nikah pengen ibadah bareng. Adik pengen keluarga kita bagus ibadahnya."
Aku terus saya nyerocos, tak sadar kalau wajah lelaki di depanku mulai meredup.
"Mas juga kalau doa cuma bentar, padahal Allah suka kalau hamba-Nya berdoa. Mas, cobalah, belajar jadi imam yang baik buat adik."
Mas Badar menarik napas, terdengar berat. Ia berdiri, memalingkan wajah lalu pergi ke arah kasir. Hatiku tratapan. Bertanya-tanya, lalu ditinggalkan. Salahkah? Salahkah?
Tapi selang beberapa menit, Mas Badar kembali. Dengan riak wajah yang lebih tenang dari sebelumnya.
"Selama ini, Adik selalu berpikiran buruk begitu ke mas?"
Aku mengangguk.
"Sebenarnya mas gak nyangka sampean berfpkiran buruk ke mas, tapi maklum kalau sampean begitu. Selama ini hidup sampean terlalu lurus, tak pernah menghadapi badai, tak pernah menghadapi kondisi saat iman sekarat dan bertanya-tanya di manakah Tuhan meletakkan kebaikannya. Tak pernah mengalami bagaimana hidup sendiri dan semua orang mencerca sampean tanpa ada satu pun yang memeluk dengan hangat, tak pernah menghadapi saat hati nyaris tak percaya Tuhan itu ada. Sampean tak pernah dihantam badai. Jadi maklum kalau bagi sampean, ibadah hanya sebatas ritual-ritual seperti baca Al-Qur'an, puasa dan semacamnya...."
Mas Badar berbicara panjang, sangat runut. Intonasinya datar, namun membuatku hanyut.
"Dik, setiap orang punya caranya sendiri menemukan Tuhan. Dulu, mas juga pernah berada di titik seperti sampean; rajin melakukan ritual-ritual. Tapi setelah badai itu datang, mas putar balik. Mas tetap beriman saja, sudah syukur. Pikiran-pikiran negatif mas waktu itu bukan hanya tertuju ke manusia, tapi bahkan ke Tuhan. Ke Allah. Mas berlatih, terus menerus untuk bisa sampai di tahap positif thinking pada Tuhan dan makhluk-Nya. Itulah cara mas menemukan-Nya.
Aku tertunduk. Mataku basah, mengingat ceritanya yang terlalu badai dari pada hidupku yang hanya riak-riak kecil. Ia memang pernah merasakan keadaan kacau yang tak memberinya ruang untuk memberontak, melainkan tunduk saja pada alirannya, pada gelombangnya, pada gulungannya, pada empasannya. Keadaan itu kemudian mendidiknya menjadi lelaki yang matang lebih awal dan selalu berpikir positif pada apa pun dan siapa pun. Pantas, semua orang nyaman bergaul dengannya. Ia tak pernah men-judge siapa pun, seburuk apa pun perilaku orang itu di mata pandangan awam.
"Ada banyak jalan untuk mencari-Nya, menuju-Nya. Sampean bisa pakai jalur ibadah, tapi jangan sampai berburuk sangka pada orang yang tak sejalur. Justru, bisa-bisa, penilaianmu terhadap orang lain akan menghalangi pandangan-Nya terhadapmu."
Kali ini Mas Badar benar-benar membuat mataku basah. Ada badai dalam hatiku yang baru diciptakannya. Prasangka-prasangka itu, perasaan tak nyaman pada Mas Badar. Malam ini aku menangisi semuanya.
"Mas, ajari adik berpikir positif kayak sampean."
"Semuanya bertahap, sampean jalankan dua-duanya. Ibadah dan latihan berpikir positif. Semoga mas bisa jadi imam yang baik, meski hanya di salah satunya...”
Masih dengan wajah yang sembab, aku mengangguk kecil. Kemudian kuraih tangannya, dan minta maaf berkali-kali.
Tak peduli; kalau ada banyak pasang mata yang melihat kami waktu itu.
29 Ramadhan 1442 H.
***
Fina Lailatul Masruroh, alumnus Mahad Aly Situbondo yang suka menulis tapi tidak suka ditulis.
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua