Cerpen

Lomba Membuat Kue Serabi

Ahad, 20 Juni 2021 | 06:30 WIB

Cerpen Muhamad Pauji 

Saya termasuk orang yang gampang tertantang kalau berhubungan dengan makanan atau kue yang enak-enak. Ketika mendengar kabar adanya seminar tentang kue serabi di hotel Le Dian, Serang, seketika saya bergegas untuk turut serta menghadiri acara tersebut.

 

Acara diselenggarakan di ballroom hotel, dan tersedia berbagai macam teh, kopi, dan tentu saja beragam jenis kue, yang semuanya disebut kue serabi. Saya mencicip dua jenis serabi, yang manis dan yang asin. Ia memiliki tekstur yang lengket, dan lapisan bawahnya agak kering. Saya tidak menyangka, banyak mahasiswa dan mahasiswi dari Untirta, UIN, Unsera dan lain-lain, juga menyukai jenis kue ini.

 

Meja-meja dalam bentuk prasmanan memanjang di setiap sudut ruangan. Para muda-mudi gaul mengenakan pakaian tradisional Jawa melayani kami dengan memberikan piring-piring antik dari rotan yang dilapisi kertas dan tisu di atasnya. Ketika saya hadir, ratusan orang sudah mengantri untuk mencicip dan menikmati kue-kue serabi, dan boleh dipilih yang mana saja rasanya atau bentuknya. Ada yang bulat dan mengembung ke atas. Ada yang tipis dan pipih seperti kue martabak. Ada  yang berisi gula di dalamnya, seperti kue klepon. Ada yang agak unik seperti kue pukis atau pancong. Dan ada juga yang bentuknya seperti pesawat UFO, hingga sebagian orang menyangka itu adalah kue cucur.

 

Duduk di sebelah saya seorang gadis yang ternyata mahasiswi dari perguruan tinggi yang tidak mau disebutkan namanya. Dia terlihat cantik, anggun, mengenakan kacamata agak tebal, dan kalau bicara, nampak sekali logat sundanya yang lembut dan anggun.

 

"Kamu datang ke sini mau ikut acara seminar, atau cuma ngarepin makan serabi doang?" celetuk saya dengan suara agak keras.

 

Mahasiswi itu tersinggung, tidak menjawab, dan kue serabi di tangannya yang tinggal sepotong, tidak lanjut dia makan. Kemudian tanya saya lagi, "Emang kamu kuliah di jurusan apa, sampai sempat-sempatnya menghadiri seminar tentang kue serabi?"

 

Dia malah tambah tersinggung. Sambil mendengus kesal dia menjawab, "Emang apa urusannya dengan kamu pake nanya ini-itu? Emangnya kamu sendiri bekerja di kantor pencatatan sipil?"

 

Sekarang giliran saya yang tersinggung. "Bukan juga sih. Saya cuma pengen tahu doang, apa betul Mbak bisa menikmati kue-kue serabi itu. Menurut saya rasanya kok biasa-biasa aja."

 

Seketika mahasiswi itu menendang ke samping hingga mengenai betis saya. Orang-orang sekitar melirik kami dengan tatapan garang. Suasana menjadi canggung dan senyap, tetapi saya berusaha mengendalikan diri dengan menampilkan wajah lugu dan polos.

 

"Kamu itu apa-apaan sih?" mahasiswi itu berbisik kemudian, "Seenaknya datang ke sini cuma amau menjelek-jelekkan kue serabi. Nanti mereka marah dan menangkap kamu, tahu?"

 

"Siapa yang marah, dan siapa yang menangkap saya?"

 

"Kamu nggak tahu, apa akibatnya kalau garuda-garuda itu marah?"

 

"Garuda-garuda apaan?" tanya saya remeh.

 

"Garuda-garuda serabi... ya, sudahlah, mungkin kamu nggak bakal mengerti."

 

"Garuda-garuda serabi apaan?" tanya saya ketus.

 

"Ssst!"

 

Mahasiswi itu menyuruh saya diam, dan acara seminar segera dimulai.

 

Sebuah film dokumenter tentang sejarah kue serabi diputar melalui infocus yang menyorot salah satu sudut dinding ruangan. Lima belas menit kemudian, tampil di panggung seorang yang menyatakan dirinya Presiden Direktur Kue Serabi (disingkat PDKS). Si PDKS menerangkan lebih lanjut perihal sejarah panjang kue serabi, bahwa konon ada penemuan mutakhir dari para arkeolog telah berhasil menemukan cetakan-cetakan peninggalan zaman Pajajaran yang diduga adalah cetakan kue serabi. Bahkan, ada sebuah sajak hasil gubahan seorang penyair yang hidup di zaman Majapahit, yang konon menyinggung-nyinggung soal kue serabi.

 

Hampir saya terbahak-bahak mendengar pernyataan itu, tetapi orang-orang sepertinya anteng saja menyimak uraian sang PDKS dengan tekun dan aman sentosa. Saya melirik ke arah mahasiswi di sebelah saya yang juga serius mendengarkan, dan seketika teringat tentang apa yang dikatakan tadi mengenai garuda-garuda serabi'. Apa yang dia maksud?

***

 

Ceramah si PDKS berlangsung hampir satu jam. Benar-benar menyebalkan. Apa yang ingin dia omongkan sebenarnya simpel saja. Bagaimana kita perlu mengangkat kue serabi yang memiliki tradisi panjang, sebagai cemilan tradisional yang merakyat dan digandrungi oleh khalayak di zaman generasi milenial ini. Hanya itu saja sebenarnya. Yang lain-lainnya cuma bualan basa-basi yang menghambur kata-kata belaka.

 

Setelah itu, tampil Direktur Utama Kue Serabi (disingkat DUKS), menjelaskan tentang perkembangan kue serabi akhir-akhir ini. Bagaimana generasi muda ditekankan agar mampu menciptakan inovasi terbaru mengenai kue serabi, dengan beragam campuran sana-sini dan tetek-bengek. Baginya, produk lokal yang memiliki sejarah panjang ini, membutuhkan darah segar untuk terus eksis dan berkembang pesat, serta sanggup bersaing dengan produk-produk impor yang membanjir di tengah pasaran kita.

 

Sebelum acara selesai, saya buru-buru keluar. Seorang gadis mengenakan pakaian tradisional menyodorkan beberapa berkas dan brosur, yang langsung saya terima tanpa basa-basi. Di tengah perjalanan, saya sempat membuka-buka lembaran berkas, dan satunya-satunya yang menarik perhatian saya adalah sayembara tentang membuat kue serabi. Para peserta diharap mengirimkannya ke perusahaan kue serabi (disingkat PKS–bukan partai lho!) dalam tempo waktu sekitar tiga minggu ke depan. Adapun hadiah bagi pemenang sayembara itu sebesar Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

 

Wah, lumayan juga sih (pikir saya). Uang segitu bisa dipakai untuk membeli motor baru, atau jalan-jalan ke Bali bersama sang kekasih pujaan hati.

 

Selama beberapa hari, perhatian saya fokuskan untuk meracik kue serabi. Saya mendatangi kediaman Bi Siti, tukang serabi di kampung Jombang, untuk seharian mempelajari satu-dua jenis serabi yang dia buat. Seperti yang sudah saya bilang, bahwa saya selalu tertantang dengan berbagai jenis kue yang enak-enak. Dan saya sanggup membuat apa saja sendirian dengan berbagai macam gaya dan selera. Cokelat, selai kacang, irisan keju, isian krim, gula dan lain-lain, akan mudah bagi saya untuk meracik dan menciptakan versi kontemporer dari kue serabi paling mutakhir sejagat raya.

 

Hari "H" tiba. Sudah saya buat selusin kue serabi dengan berbagai macam rasa dan model. Saya membawanya ke meja resepsionis di kantor PKS, dan salah seorang resepsionis berujar, "Kelihatannya enak nih."

 

"Enak banget, dong!" jawab saya mantap.

 

***

 

Dua minggu kemudian, saya menerima telpon dari kantor perusahaan serabi, dan diminta untuk datang ke kantor esok lusa. Keyakinan saya cukup beralasan, dan saya mempersiapkan diri dengan menyeterika kemeja dan menyemir sepatu, untuk menampilkan diri di hadapan mereka dengan serapi mungkin.

 

Saya disambut langsung oleh DUKS (masih ingat, kan?). Setelah menyambut kehadiran saya, si DUKS berujar, "PKS telah menerima kue serabi baru yang Anda buat secara kreatif dan inovatif. Para staf telah mengakui keunggulan kue-kue serabi itu... terutama karyawan-karyawan muda."

 

Saya tersenyum sumringah dengan perasaan berbunga-bunga. Lalu, si DUKS melanjutkan, "Tetapi di perusahaan kami ada sejumlah pegawai yang sudah tua, dan... aduh, ehm, saya bingung menjelaskannya. Maksud saya, penilaian dari para pegawai tua masih menentukan juga..."

 

"Maksudnya?" tanya saya lebih lanjut.

 

"Yang tua-tua di perusahaan kami, sebenarnya pernah berjasa sejak masa pemerintah Orde Baru... dan mereka juga, ehm, penggemar sajak-sajak kuno tentang kue serabi..."

 

"Sajak buatan penyair di zaman Majapahit itu?" tanya saya lagi.

 

"Kurang lebih seperti itu. Jadi, mohon maaf, perdebatan untuk menentukan siapa pemenang masih berlangsung sampai saat ini."

 

"Oo begitu?"

 

"Ya, begitulah. Jadi, aduh, ehm, dewan direktur memutuskan untuk membiarkan masalah ini ditetapkan oleh Tuan Garuda-garuda Serabi..."

 

"Ha!" seru saya. "Garuda-garuda Serabi lagi, apa itu?!"

 

Si DUKS menatap bingung ke muka saya, "Maksudnya, Anda ingin bilang bahwa selama ini mengikuti sayembara, tanpa sedikit pun tahu tentang Garuda-garuda Serabi, begitu?"

 

"Bukan begitu maksud saya," saya berkelit membela diri. "Memang saya pernah bincang-bincang akrab dengan seorang mahasiswi, entah dari perguruan tinggi mana, dan kami membahas soal garuda itu sebagai burung-burung elang yang..."

 

"Ah, Anda memang nggak paham tentang Garuda-garuda Serabi..."

 

"Maksudnya, apakah orang-orang tua yang pernah berjasa di masa Presiden Soeharto dulu... dan mereka yang menyukai sajak-sajak serabi di zaman Majapahit itu?"

 

"Ooh, berarti Anda betul-betul belum tahu... kalau begitu, ayo ikuti saya."

 

***

 

Saya pun mengikuti si DUKS (masih ingat, kan?) keluar ruangan. Melintasi aula, memasuki elevator yang naik ke lantai empat, lalu melintasi aula lain, yang pada ujungnya terdapat pintu besi raksasa. Si DUKS memencet tombol, dan segerombol penjaga menyeruak. Setelah dia mengonfirmasi sebagai direktur utama, dia membuka pintu besar tersebut. Keamanannya dijaga ketat. Sangat protokoler. Persis seperti di zaman militerisme Orde Baru.

 

Si DUKS memperkenalkan saya dengan beberapa juri yang berdiri di belakang gerombolan penjaga. Saya mengenal muka beberapa ahli kuliner dan seorang penyair yang tangannya buntung, jadi dia menulis dengan tangan satunya yang masih utuh. Seketika saya mendekati penyair itu sambil berbisik santun, "Pak, maaf, apa betul yang mereka katakan mengenai tangan Bapak?"

 

"Apa yang mereka katakan?" tanyanya.

 

"Bahwa tangan Bapak hilang karena ulah perlakuan rival politik Bapak?"

 

"Rival politik di dunia seni maksudnya?" katanya terus terang.

 

"Ya. Dan tangan Bapak putus karena kesewenangan yang mereka lakukan?"

 

"Saya kira tidak," katanya sambil menarik napas, "tangan saya putus karena kecelakaan, dan itu karena kesalahan saya sendiri, bukan bertengkar dengan siapa pun."

 

Kemudian, kata saya tegas, "Seharusnya Bapak mengonfirmasi kenyataan itu, bukan malah mengambil keuntungan dari isu dan rumor yang berkembang. Jangan sampai masyarakat dibuat buram, lantas tidak mengetahui siapa yang berlaku tidak adil dan siapa yang diperlakukan secara tidak adil."

 

"Saya kira, selama ini yang diperlakukan tidak adil oleh rezim militerisme adalah seniman-seniman Lekra."

 

"Bapak juga pernah memerintahkan beberapa seniman muda untuk menyerang novel Pikiran Orang Indonesia?"

 

"Anu... saya kira, aduh... ehm..."

 

"Dan Bapak juga mengambil keuntungan dari isu dan rumor yang berkembang di sebagian kalangan seniman? Itu artinya, Bapak bukan seniman independen, tetapi hanya abdi-abdi belaka dari induk semang militerisme Orde Baru."

 

"Ehm... aduh...."

 

Ia terdiam dengan pandangan menerawang, lalu tanya saya lagi, "Dan Bapak sekarang tampil sebagai salah satu juri, yang akan menilai tentang kualitas kue serabi. Apakah Bapak paham tentang dunia kuliner?"

 

"Sedikit," jawabnya singkat.

 

"Apakah Bapak pernah makan kue serabi?"

 

"Nggak juga, kalau klepon pernah," katanya menggeleng.

 

"Kenapa Bapak mau ditunjuk sebagai juri?"

 

"Saya hanya disuruh."

 

"Alamaaak!"

 

***

 

"Tuan Garuda-garuda tinggal di sini," kata si DUKS menjelaskan. "Mereka keluarga istimewa dari para burung. Selama berabad-abad mereka tidak memakan apa-apa kecuali kue-kue serabi."

 

Tak membutuhkan penjelasan lebih panjang. Di sana terdapat ratusan burung garuda yang tinggal di ruangan cekung seperti gua sarang walet. Ruangan itu ditata seperti gudang raksasa dengan atap setinggi lima belas meter, dan berbagai tiang saling melintang dari dinding ke dinding. Di deret yang sesak di setiap tiang bertenggerlah Garuda-garuda Serabi, yang tubuh-tubuhnya jauh lebih besar ketimbang burung-burung elang biasa.

 

Si DUKS menjelaskan dengan rinci dan detail bahwa burung-burung garuda itu memiliki 17 helai bulu pada masing-masing sayap, 8 helai bulu pada ekor, 19 helai bulu di bawah perisai dan 45 helai bulu di sekitar leher.

 

"Bapak sudah hitung jumlah bulu-bulu itu?" tanya saya.

 

"Pegawai-pegawai saya sudah... menghitungnya," katanya ragu.

 

"Serius?"

 

Dia diam tak menjawab. Sepertinya dia khawatir kalau-kalau saya ikut menghitungnya saat itu juga.

 

Saya kurang yakin dengan jumlah-jumlah itu, dan entah apa maksudnya dia menjelaskan serinci itu. Ketika garuda-garuda mendengar kehadiran kami, mereka mulai mengepak-ngepakkan sayapnya dan berkuak-kuak. Kali pertama, itu terdengar seperti suara tak berbentuk, namun seiring saya mulai mendengar dengan seksama, telinga saya baru menangkap bahwa mereka seolah kompak meneriakkan, "Serabi... serabi... serabi...!"

 

Dari sebuah kotak yang disodorkan pegawainya, si DUKS melempar puluhan bahkan ratusan kue serabi, yang diikuti dengan seratus lebih garuda-garuda hinggap menuju kue. Di tengah-tengah hasrat mereka meraih kue serabi, mereka juga saling mematuki kaki, tubuh dan kepala garuda-garuda lainnya. Lalu si DUKS mengambil puluhan lagi kue serabi dari kotak lain, dan melemparkannya ke lantai.

 

"Perhatikan ini!" ujarnya pada saya. "Ini adalah kue-kue serabi yang tereliminasi dari kompetisi ini."

 

Burung-burung itu kembali berkerumun dan mematuki kue serabi. Tetapi, ketika mereka menyadari bahwa kue-kue itu bukan serabi sejati, mereka melepehkannya dan berkuak-kuak marah, "Serabi... serabi... serabi...!"

 

Pekikan mereka menggema ke langit-langit hingga telinga saya terasa pekak.

 

"Anda lihat?" kata si DUKS lagi, " Mereka hanya mau makan serabi yang asli dan sejati... mereka tidak mau menyentuh produk-produk palsu dan tiruan, kan?"

 

Si DUKS mundur selangkah. Seorang pegawai berkemeja batik kuning menyodorkan sebuah kotak khusus, "Dan sekarang, mari kita coba dengan kue serabi buatan Anda. Jika mereka memakannya, Anda akan menang, tetapi jika mereka melepehkannya, berarti Anda kalah..."

 

Brengsek (pikir saya), ini tak bisa dibenarkan. Sesuatu mengatakan pada saya bahwa ini tak akan berhasil. Mereka tidak seharusnya membiarkan sekelompok burung bodoh menentukan hasil kompetisi. Tanpa menyadari kekhawatiran saya, si DUKS terus saja melemparkan serabi-serabi buatan saya, hingga garuda-garuda itu saling mencakar dan menerkam satu sama lain.

 

Beberapa garuda nampak menikmati serabi saya dengan nafsu, tapi sebagian besar saling cakar dan saling terkam satu sama lain. Ada lagi yang tiba-tiba menjadi liar dan mengamuk ke sana kemari. Sementara yang lainnya melepehkannya dengan jijik sambil berkuak-kuak, "Serabi, serabi, serabi....!"

 

Beberapa garuda yang tak kebagian kue, tiba-tiba menggila dan mematuki leher garuda-garuda lain yang sedang mengunyah. Darah mengalir di mana-mana. Seekor garuda menyambar dan merobek-robek perut garuda lainnya. Sejak itu, prahara dan pertikaian semakin merajalela. Sekali patukan dibalas dengan sepuluh kali patukan. Satu sambaran dibalas dengan amukan membabi-buta. Bahkan, setetes darah dibalas dengan darah-darah bersimbah dan muncrat ke mana-mana.

 

Kali ini, dua orang pegawai mengangkat kue tumpeng raksasa, dan si DUKS menyuruh mereka menaruh kue itu di tengah kerumunan burung-burung garuda. Setelah menaruh kue tumpeng, kedua pegawai itu lari terbirit-birit karena garuda-garuda itu segera menyerbu tidak pandang bulu.

 

Berarti, ini semua terjadi hanya karena kue-kue yang asin dan manis, tapi bagi burung-burung itu rasa manis dan asin adalah segala-galanya. Bahkan, apakah kue-kue itu berjenis serabi, apem, klepon atau kue-kue lainnya, hal itu adalah perkara hidup dan mati bagi mereka.

 

"Lihat, apa yang Bapak lakukan," kata saya pada si DUKS, "Bapak melempar-lemparkan kue serabi buatan saya kepada mereka. Tapi Bapak tidak menyadari bahwa kue-kue saya itu memiliki daya pikat yang sangat kuat."

 

Tak lama kemudian, saya pun keluar ruangan, turun menggunakan elevator dan meninggalkan gedung perusahaan kue serabi. Sejenak saya merasa jengkel karena harus kehilangan uang limabelas juta rupiah, tapi saya toh masih bisa menikmati perjalanan hidup yang panjang ke depan, serta tak mau terikat dan diperbudak oleh burung-burung dungu dan tolol itu.

 

Bagi saya, rezeki bisa dicari di mana saja. Biarpun gedung itu habis dimakan rayap sekalipun, kue serabi akan tetap eksis dengan inovasi-inovasi terbaru, atau dengan sistem pemasakan model terbaru.

 

Keberkahan hidup bisa diperoleh dari manapun sumbernya. Tak perlu terikat dan terbelenggu oleh aturan-aturan baku yang dibuat garuda-garuda brengsek itu. Biarkan saja mereka sibuk menebar prahara, saling mematuk dan mencakar satu sama lain. Lebih baik saya menempuh jalan hidup sendiri yang lebih bermanfaat dan bermaslahat bagi banyak orang. 

 

Muhamad Pauji, cerpenis dan kritikus sastra kontemporer Indonesia. Pegiat organisasi kepemudaan OI (Orang Indonesia). Menulis cerpen dan kritik sastra di berbagai media massa dan online.