Cerpen

Gelombang Kebangkitan Bangsa

Sab, 1 Mei 2021 | 06:00 WIB

Gelombang Kebangkitan Bangsa

Ilustrasi gelombang kebangkitan bangsa.

Cerpen ini merupakan jawaban atas cerpen yang ditulis Saudara Supadilah Iskandar yang berjudul Novel Tanpa Kata-kata yang ditampilkan NU Online. Penulis tak pernah keberatan dengan cerpen itu, tapi yang menjadi persoalan cerpen itu secara implisit menyatakan bahwa novel Pikiran Orang Indonesia seakan kosong tanpa ada tulisan. Karena itu, saya tak berhak membalasnya dengan amarah atau dengan pukulan popor senjata seperti di masa Orde Baru. Saya hanya mampu menjawab cerpen itu dengan cerpen juga, agar terjadi keseimbangan yang adil dan proporsional. Selamat berkarya, Sahabatku, Supadilah! (Muakhor Zakaria)


Gelombang Kebangkitan Bangsa


Kereta api yang dinaiki Mardi dan Hartono dari Merak menuju Rangkasbitung begitu padat penumpang. Mereka naik dari Stasiun Serang ingin menghadiri acara pernikahan sepupu mereka di daerah Rangkasbitung. Mereka membeli tiket dan kebagian di gerbong paling belakang, dekat dengan toilet.


Rupanya tempat duduk mereka telah diisi oleh dua orang lelaki sekitar 50 dan 60-an tahun. Mereka merasa tak tega menyuruh kedua orang itu agar berdiri lantaran kedua lelaki itu juga membeli tiket dengan harga yang sama. Akhirnya, mereka berdua duduk di lantai gerbong bersama para penumpang lain yang hanya mengantongi tiket berdiri.


"Jadi, sebenarnya Haris dan Arif itu berteman sejak kecil, tapi nasib hidup kemudian mengantarkan mereka bagaikan musuh dalam selimut. Semua itu bermula dari rencana Haris yang mau melanjutkan kuliah di jurusan Filsafat di Jakarta, tetapi kemudian Arif memperkenalkannya dengan seorang tentara berpangkat Letkol, yang kemudian mengurungkan niatnya semula untuk kuliah di Jakarta. Akhirnya, ia mendaftarkan diri di suatu organisasi pengkaderan yang didanai pemerintah Orde Baru. Organisasi itu bernama Gerakan Pemuda Orde Baru (GPOB). Di sana ia digembleng bersama para kader muda yang kemudian mengantarkannya sebagai sukarelawan tentara guna mengamankan jalannya keamanan dan ketertiban negara."


"Apakah dia diberangkatkan ke Timor Timur untuk menjadi sukarelawan tentara?" tanya Hartono..


"Bukan, maksud saya GPOB itu sejenis dengan tentara sukarela yang dikerahkan di kampus dan pabrik-pabrik untuk memerangi para mahasiswa, wartawan hingga para buruh."


"Apakah ada tentara-tentara Orde Baru yang sengaja dikerahkan untuk memerangi mahasiswa, wartawan dan para buruh?"


"Memang semuanya serba klise, serba terselubung. Barangkali para tentara itu membikin posnya sendiri-sendiri, tapi mungkin juga atas perintah langsung dari atasan. Faktanya, para korban yang terbunuh benar-benar nyata, seperti Marsinah, Udin Sjafrudin, Elang Mulya, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya."


"Apakah pembunuhan itu atas perintah langsung dari Presiden Soeharto?"


"Saya kira tidak. Tapi kalau perintah tak langsung, bisa jadi benar."


"Ataukah perintah dari Pangkopkamtib?"


"Apa itu?"


"Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dipimpin oleh Jenderal Sudomo."


Beberapa penumpang menoleh dan memperhatikan keduanya, tetapi Mardi tak peduli. Terus saja ia bicara di hadapan temannya. Bahwa kita ini sudah hidup di alam merdeka. Bahwa saat ini sudah bukan zaman penjajahan lagi, baik penjajahan Belanda, Jepang maupun penjajajahan Orde Baru. Bahwa kita berhak untuk bicara apa saja, tanpa tending aling-aling.


"Lalu, apa yang dilakukan Haris dan Arif setelah berada dalam binaan para tentara itu?"


"Mereka juga menjadi korban dari pelaku pembunuhan secara tak langsung. Sampai kemudian Haris menyadari kekhilafannya, dan dia mencari-cari cara agar keluar dari barisan GPOB itu."


"Apa yang dia sadari?"


"Dia merasa terpaksa bertugas untuk mengamankan negara dari Gerakan Pengacau Keamanan atau GPK..."


"Lho? Bukankah dulu Belanda juga memakai istilah 'Gerakan Pengaco Keamanan' untuk menumpas para pejuang RI?"


"Ya, rupanya Orde Baru memakai istilah yang sama dengan Belanda juga. Bahkan mereka mengembangkan istilah lain seperti OTB atau Organisasi Tanpa Bentuk. Akibatnya, setiap LSM, Ormas, hingga koran-koran yang dianggap berseberangan dengan kebijakan Orde Baru, semuanya ditumpas habis."


"Berarti Orde Baru itu sama saja dengan pemerintah Hindia Belanda?"


"Kalau sama, tentu saja tidak. Tapi kalau Soeharto dulunya pernah menjadi KNIL yang memihak Belanda, itu telah menjadi fakta yang kita ketahui bersama."


"Lalu, apakah Haris betul-betul menempuh jalan keluar dari organisasi pengkaderan itu?"


"Ya, dia tidak mau memerangi rakyatnya sendiri. Dia sadar bahwa pakaian, sepatu, hingga pentungan yang ia pakai sebenarnya telah dibeli dari uang rakyat. Karena itu, dia menyatakan 'mundur' daripada harus memerangi rakyat yang dicintainya."


"Tapi, bagaimana dengan Arif?"


"Arif mengatakan tetap konsisten pada perjuangannya mengamankan negara. Dia mengatakan 'tetap konsisten' padahal bagi Haris, hal itu hanya konsistensi untuk berbuat zalim kepada rakyatnya sendiri."


"Bagaimana Haris akhirnya bisa keluar? Bukankah tidak kecil risiko yang harus dihadapinya?"


"Awalnya dia sakit parah dan tidurnya suka mengigau. Dia dipulangkan ke pangkuan keluarganya. Orangtuanya bersiap-siap menyambut sang anak yang pahlawan dan patriot pembela bangsa dan negara. Tiba-tiba mereka sedih melihat kondisi Haris yang sakit, mengigau, badannya kurus kering dan mukanya pucat pasi. Dia didiagnosa dokter telah mengidap schizofrenia, sejenis penyakit kejiwaan yang membuat dirinya merasa dikejar-kejar musuh yang selalu mengintainya."


Mardi terus melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat, setelah melihat semakin banyak penumpang yang antusias mengerumuninya. Ia pun menyatakan bahwa ada satu hal yang membuat Haris bisa pulih dari penyakit jiwanya, "Tetapi, apa itu?" tanya Hartono.


"Cinta!" katanya dengan tegas. "Haris mencintai Ida Farida, gadis yang pernah dikenalnya dulu, yang sekarang aktif sebagai wartawati di suatu tabloid yang memperjuangkan reformasi dan pergerakan kaum muda Indonesia."


"Dulu dia pernah mengenalnya?"


"Ya, hubungan Haris dan Ida terputus ketika Haris memutuskan masuk organisasi pengkaderan dulu. Ida tidak setuju pada keputusan Haris, karena bagi Ida, konsep mengamankan negara yang dibanggakan Orde Baru, tidak sama artinya dengan melayani masyarakat bangsa. Membela negara dalam perjalanannya kemudian bertolak-belakang dengan membela kepentingan rakyat Indonesia. Itulah yang membuat hubungan mereka terkatung-katung hingga memutuskan berpisah."


"Lalu, apa yang kemudian mempersatukan mereka kembali?"


"Cinta... dan cinta itu bisa tumbuh dan mekar dalam suatu iklim yang memungkinkan rasa cinta itu bisa bertumbuh."


"Berarti cinta itu bisa mati dan layu dalam iklim yang kurang baik?"


"Ya, tepat sekali! Dalam hal ini kita semua tahu siapa yang paling bertanggungjawab mematikan cinta, serta membiarkan rasa cinta itu tidak berkembang."


Kereta yang mereka tumpangi sudah mendekati stasiun Rangkasbitung. Setelah semua pendengar merasa puas pada akhir cerita itu, mereka pun bersiap-siap untuk turun. Dalam soal cerita yang membikin pendengar merasa kagum dan terpesona, itulah yang menjadi keahlian Mardi selama ini. Mereka sangat terpukau memperhatikan kisah-kisah yang mengalir lancar dari mulutnya, seolah dia mengalami peristiwanya sendiri.


Padahal, semua bahan cerita itu berasal dari novel psiko-histori berjudul Pikiran Orang Indonesia yang ditulis pengarang Banten berdasarkan penelitian ilmiah bertajuk historical memory, sambil mewawancarai korban-korban politik yang dipenjarakan dan dibuang di Pulau Buru oleh rezim militerisme Orde Baru. Hebatnya lagi, Mardi telah mampu membawakan cerita seolah-olah tokoh-tokohnya hidup dan hadir di antara mereka.


Kepiawaian penulis Banten itu dalam membedah sifat-sifat manusia, dengan contoh-contoh yang ekstrim, nampak begitu fasih dan lancar. Apalagi ketika karya sastra itu meluncur dari mulut-mulut jenius seperti Mardi, yang berhasil membuat para penumpang terpukau dan terkagum-kagum. (*)


Muakhor Zakaria, cerpenis dan esais sastra, menjadi dosen di perguruan tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan