Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (9): Bab Niat

Jum, 27 Maret 2020 | 23:52 WIB

Oleh Rahmatullah Ading Affandi
 
Dalam pelajaran, ma huwa an-niyat? Apa artinya niat? Anniyatu huwa a’takidu...dan seterusnya dan seterusnya. Artinya, niat itu adalah bertekad untuk melakukan sesuatu. 

Lanjutannya: wa talafudzu fiha (fihadzihinniyat) sunnatun, mengucapkan niat hukumnya sunat. Begitu dalam pelajaran. Setiap pekerjaan sebelum dimulai harus berniat terlebih dahulu. Dan bagus kalau niat itu diucapkan. Karena itulah niat saat waktu wudhu, saat shalat, niat selalu dibisikkan, tidak cukup dalam hati. 

Dalam niat, baru di dalam hati saja, apabila niat itu untuk kebaikan, maka sudah mendapatkan pahala. Sebaliknya, meskipun niat sudah dibunyikan, tapi kalau untuk melakukan pekerjaan buruk, belum ada dosanya.

Masih menurut pelajaran. Dalam diri kita ada dua malaikat. Pertama malaikat pencatat keburukan, kedua malaikat pencatat kebaikan. Kalau ada niat baik di dalam hati, malaikat pencatat kebaikan segera menuliskannya. Namun, kalau di dalam hati ada niat keburukan melaikat pencatat keburukan tidak langsung menuliskannya, melainkan menunda terlebih dahulu sampai niat itu dilaksankan. Demikianlah keadilan Allah kepada manusia.

Di dalam soal niat, si Umar menafsirkannya. Menurut dia, kalau melisankan niat, hukumnya sunat, serta bakal mendapat ganjaran, tentu makin kencang melisankannya, maka akan semakin besar pula ganjarannya. Begitu tafsirannya. Si Umar, meski namanya sama dengan salah seorang sahabat Nabi yang gagah, tapi si Umar ini tidak seperti itu. Si Umar yang ini banyak guyonnya, dan bahkan berlebihan. Ketika ia membaca kitab Safinah,  paslun, upas di alun-alun, nipas, nini-nini di tepas (dipan). Ia mengatakan seperti itu keras banget.

Karena itulah suatu hari ia dibentak Mang Udin. "Kufur anta!" katanya. Di pesantran, bentakan semacam itu terbilang keras. Tak bisa diobral sembarangan.

Memang si Umar kebangetan. Waktu Tarawih ia malah ke kolong tajug (mushala) sembari membawa bulu ayam. Ia kemudian menuju kolong yang dekat dengan tiang karena menyangka di situ ada si Atok. Ketika orang yang di atasnya sujud, si Umar mencolokkan bulu ayam itu ke hidungnya. Tentu saja orang yang sedang sujud itu kaget luar biasa. Ternyata orang yang sujud itu adalah Mang Udin. Meskipun ia sedang khusuk, langsung berteriak karena menyangka ada coro yang masuk ke dalam hidungnya. Sementara yang lain juga kaget karena teriakannya. Begitu juga ajengan.

Mang Udin luar biasa marah ketika tahu yang melakukannya si Umar. Hampir saja ia memukulnya. "Kufur anta!" bentaknya.

Si Umar hanya cengengesan sambil mengatakan, “Maaf, kirain saya si Atok,” katanya karena ia tahu saat shalat maghrib, di dekat tiang itu tiada lain si Atok. 

Kembali lagi kepada tafsiran niat ala si Umar, bahwa semakin kencang mengucapkannya, maka semakin besar pula pahalanya. Karena itu, si Umar kalau mengucapkan niat selailu diterikkan. 

Kalau sesudah sahur terdengar kemana-mana, “Nawaitu shuma ghadin," katanya. Kadang-kadang "nawaitu sambel godin". 

Bukan hanya dalam niat puasa saja, tapi dalam segala hal. Saat wudhu, niat shalat, bahkan ketika mau membuang air besar. 

Ajengan sempat kesal dengan kelakuannya. Tapi kesal dengan tak kuat menahan tawa.

Waktu itu ajengan sedang bersama santri-santri melihat ikan di kolam karena mendengar kabar ikan-ikan mabuk sabun cucian. Di sebelah sana, di kolam ikan yang ada toiletnya, si Umar baru saja jongkok. 

"Aku berniat membuang sesuatu yang membuat perut saya sakit..." katanya kenacang. 

Aku tak kuat menahan tawa, begitu pula ajengan. Katanya, "Umar, la tal'ab binniyat" (jangan bermain-main dengan niat), pelan-pelan saja, tak usah diteriakkan begitu hingga terdengar kemana-mana.

Sekali waktu si Umar hampir berantem dengan si Sakim. Pasalnya si Sakim sedang rebahan hampir tertidur kecapean selepas tadarus. Antara tidur dan jaga si Umar menerikkan niat tidur"... turu-turu aja lali, badan turu ati tanghi..." Kontan Si Sakim terbangun dan hampir saja berantem kalau tidak dipisah si Usup. 

Si Sakim menuduh si Umar mengganggu, sementara si Umar berpegang pada keharusan mengucapkan niat. Sementara mengucapkan niat itu sunat.

"Kalau antum tidak percaya bahwa itu sunat, antum kafirun...,” dalih si Umar kepada santri-santri yang memisahkannya dengan si Sakim. Semuanya tak bisa menjawabnya.
 
Karena berisik, Mang Udin terbangun. Ia kemudian berteriak, "Aku berniat menampar si Umar dan si Sakim karena mengganggu orang-orang yang akan tidur!" 
Plak, plak... si Sakim dan si Umar ditampar, masing-masing mendapatkannya sekali. Kemudian Mang Udin tidur lagi seperti tak sempat melakukan apa-apa. 

Semuanya terdiam. Namun sebentar.

"Aku berniat membalas menampar Mang Udin, tapi nanti kalau aku sudah besar," kata si Umar berteriak. 

Semuanya langsung tertawa, begitu pula Mang Udin di balik selimut. Beberapa saat kemudian ada yang berteriak lagi.

"... Niat kaula poe isuk neke sirah Ajengan nu lenang..." (Aku berniat menyentil kepala ajengan yang botak,” teriak si Aceng.

Kembali semua tertawa. Namun terhenti seketika karena ada yang mendehem di pinggir kamar. Semuanya tahu itu suara siapa. Kemudian setiap kamar mematikan lampunya. Tapi belum tidur karena merasa takut, jangan-jangan teriakan si Aceng didengarnya. Dan yang paling takut adalah si Aceng sendiri.

Keesokan harinya, ajengan meminta seluruh santri berkumpul, kecuali si Aceng. Dia disuruh pergi. Semuanya kaget dan takut.

“Anak-anakku, semuanya tahu malam tadi aku mendengar omongan si Aceng. Kata dia, sudah berniat mau menyentil kepalaku yang botak. Nah, sekarang aku meminta pendapat kalian, hukuman apa buat si Aceng?” kata ajengan.

Nah, dalam hal ini aku merasa begitu pinternya ajengan dalam mengajar. Karena masalah itu menjadi musyawarah yang ramai. 

Para santri mengungkapkan pendapatnya, terutama santri senior. 

“Menurut saya si Aceng sudah berlebihan,” kata Mang Udin. 

“Karena itulah pantas dan munasabah kalau anak ini diusir dari pesantren,” lanjut Mang Udin. 

Semua santri pada kaget karena sabab Mang Udin adalah santri paling pintar, tentu pendapatnya berpengaruh besar kepada Ajengan.

Meskipun begitu, aku tak ikut berbicara karena takut salah. 

Santri ini ngomong begini, santri itu ngomong begitu. Terutama santri senior sepakat dengan pertimbangan Mang Udin. 

Tak dinyana, seseorang berkata. 

"Ajengan, menurut saya tidak benar kalau si Aceng kalau dihukum," kata si Umar. 

Ketika semua tahu yang baru berbicara itu si Umar, semuanya terkaget. Tidak mungkin dia bisa berargumen dalam hal itu. 

"Ah, kamu tahu apa,” kata si Usup. 

Namun, ajengan memberikan isyarat agar semua orang mendengarkan apa yang dikatakan si Umar. 

"Jangan berisik! Lanjutkan, Umar!" pinta ajengan. 

"Menurut ajengan, niat yang baik, sebelum dikerjakan sudah mendapatkan ganjaran. Sebaliknya, kalau niat jelek, sebelum dikerjakan, belum mendapatkan apa-apa. Jadi, kalau belum dikerjakan belum ada hukuman apa pun," katanya. 

“Nah,” lanjut si Umar, ”si Aceng sekarang punya niat jelek. Baru niat, belum dilaksanakan. Dan tentu tidak akan melakukannya sebab itu hanya guyon. Allah subhanaliu wa ta'ala mengampuni manusia yang punya niat jelek kalau tidak sempat dilakukan, apalagi kita manusia..." jelas si Umar. 

Ajengan kemudian tertawa bahagia atas jalan pikiran si Umar.

"Tak disangka, tak dinyana di antara seluruh santri saya, baru bunayya (anakku) ini si Umar yang sudah sampai ke situ (Mang Udin matanya melotot ke si Umar). Karena itu, si Aceng diampuni sebab baru niat dan niatnya pun hanya guyon," kata ajengan.