Bahtsul Masail

Tata Cara Qadha Shalat Zuhur dan Ashar di Waktu Malam

Sen, 23 Agustus 2021 | 08:00 WIB

Tata Cara Qadha Shalat Zuhur dan Ashar di Waktu Malam

Untuk shalat qadha, terkait bacaannya apakah keras atau lirih, terdapat dua pendapat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya.

Assalamu alaikum wr. wb.

Redaktur NU Online, mohon penjelasan tentang cara qadha shalat. Kebetulan di daerah kami sudah terlaku kebiasaan mengqadha shalat bagi orang meninggal yang kebetulan punya utang shalat fardhu. Namun yang masih perlu penjelasan adalah tentang caranya. Apakah qadha shalat siang, yaitu Zuhur dan Ashar, yang bacaan surat al-Fatihah dan surat lainnya sunnah dilakukan secara lirih, bila diqadha di malam hari juga tetap sunnah dibaca lirih? Atau bagaimana? (Hamba Allah/Jawa Tengah).

 
Jawaban

Wa alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Berkaitan pertanyaan tersebut terdapat dua pendapat di lingkungan ulama mazhab Syafi’i, sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam Al-Baghawi, Al-Mutawalli dan ulama lainnya. 


Pertama, pendapat al-ashah atau yang dinilai lebih shahih, menyatakan bahwa yang menjadi standar dalam membaca keras atau lirih dalam shalat qadha adalah waktu qadhanya. Bila waktu qadhanya malam hari maka bacaan al-Fatihah dan bacaan surat, tetap dibaca secara keras, meskipun shalatnya adalah shalat Zuhur dan Ashar yang asalnya disunnahkan secara lirih. Sebaliknya bila waktu qadhanya siang hari maka bacaan-bacaan tersebut dilakukan secara lirih, meskipun shalatnya adalah shalat Maghrib, Isya dan Subuh. 


Kedua, pendapat muqâbilul ashah yang juga dinilai sebagai pendapat yang sahih menyatakan yang menjadi standar adalah waktu asal shalat tersebut. Bila shalat itu adalah Zuhur dan Ashar maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca lirih meskipun diqadha pada waktu malam hari; dan bila shalatnya adalah Maghrib, Isya dan Subuh, maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca keras meskipun diqadha pada waktu siang hari.


Secara lengkap Imam An-Nawawi menjelaskan:


وَأَمَّا الْفَائِتَةُ فَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ اللَّيْلِ بِاللَّيْلِ جَهَّرَ بِلَا خِلَافٍ. وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ بِالنَّهَارِ أَسَرَّ بِلَا خِلَافٍ؛ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ لَيْلًا أَوِ اللَّيْلِ نَهَارًا فَوَجْهَانِ، حَكَاهُمَا الْقَاضِى حُسَيْنُ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَغَيْرُهُمْ. أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْاِعْتِبَارَ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فِي الْإِسْرَارِ وَالْجَهْرِ، صَحَّحَهُ الْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَالرَّافِعِيُّ. وَالثَّانِيُّ: اَلْاِعْتِبَارُ بِوَقْتِ الْفَوَاتِ وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ الْحَاوِي 


Artinya, “Adapun shalat fâ'itah atau yang keluar dari waktunya, maka (1) bila orang mengqadha shalat malam—Maghrib, Isya’, demikan pula Subuh meskipun sebenarnya waktunya adalah pagi—di waktu malam, maka ia sunnah membaca dengan bacaan keras tanpa perbedaan pendapat di antara ulama; (2) bila ia mengqadha shalat siang di waktu siang maka ia sunnah membaca dengan bacaan lirih tanpa perbedaan pendapat di antara ulama; namun (3) bila ia mengqadha shalat siang di waktu malam, atau mengqadha shalat malam di waktu siang, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli dan lainnya. (1) Pendapat al-ashah atau yang paling shahih menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu qadha terkait lirih dan kerasnya. Pendapat ini dinilai shahih oleh Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam ar-Rafi’i. Adapun (2) pendapat kedua menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu yang terlewatkan atau waktu asalnya. Pendapat ini dipastikan oleh penulis Kitab Al-Hâwi, yaitu Imam al-Mawardi.” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 390).


Simpulannya, untuk shalat qadha, terkait bacaannya apakah keras atau lirih, terdapat dua pendapat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya. Meskipun shalat Zuhur atau Ashar bila qadhanya dilakukan di malam hari maka sunnahnya adalah dengan suara keras. Pendapat ini lebih kuat di lingkungan ulama Syafi’iyah. Karenanya, pendapat ini pula yang penulis sarankan untuk diamalkan karena lebih kuat.


Semoga jawaban singkat ini dapat dipahami secaa baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. 


Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith thâriq. 

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.