Bahtsul Masail

Bolehkah Jadi Imam Shalat padahal Punya Utang Shalat?

Sab, 14 Desember 2019 | 12:00 WIB

Bolehkah Jadi Imam Shalat padahal Punya Utang Shalat?

Ada dua kondisi seseorang punya utang shalat: meninggalkan shalat karena uzur dan karena tak ada uzur. Masing-masing punya konsekuensi berbeda. (Ilustrasi: NU Online)

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepada yang terhormat Redaksi Bahtsul masail NU Online , apakah boleh seseorang mengimami shalat fardhu , sedang dia masih mempunyai utang shalat? Mohon keterangannya . Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Alina /madura)

 

Jawaban:

Waalaikumsalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, semoga Saudara diberikan keberkahan hidup oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, patut dipahami terlebih dahulu bahwa ketika seseorang memiliki tanggungan shalat yang wajib untuk diqadha’ maka wajib baginya untuk segera mengqadha’i shalat tersebut jika memang shalat tersebut tidak dilaksanakan tanpa adanya uzur apa pun. Berbeda ketika shalat yang tertinggal tersebut tidak dilaksanakan karena adanya suatu uzur, seperti tertidur tanpa menemui sedikit pun waktu shalat, lupa dan hal-hal lain yang termasuk dalam kategori uzur, maka menyegerakan mengqadha’ shalat dalam kondisi demikian adalah hal yang sunnah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

 

(ويبادر) من مر (بفائت) وجوبا، إن فات بلا عذر، فيلزمه القضاء فورا - ويبادر به - ندبا - إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك.

 

“Orang yang telah meninggalkan shalat wajib mengqadlai shalatnya sesegera mungkin, jika memang shalat terlewat dengan tanpa adanya uzur. Dan sunnah menyegerakan mengqadha’i shalat yang terlewat jika karena adanya uzur, seperti tertidur yang tidak ada kecerobohan, begitu juga tertinggalnya shalat dikarenakan lupa” (Syekh Zainuudin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 31)

 

 

Berdasarkan ketentuan di atas, maka mendahulukan mengqadha’ shalat yang tertinggal tanpa uzur dari shalat yang hadir saat itu adalah hal yang wajib. Sedangkan jika shalat yang tertinggal karena ada uzur, maka hukum mendahulukannya dari shalat yang hadir adalah sunnah, meskipun dengan mendahulukan shalat qadha’ ini akan berakibat pada hilangnya jamaah. Penjelasan demikian secara tegas disampaikan dalam lanjutan referensi di kitab Fath al-Mu’in:

 

(وتقديمه على حاضرة لا يخاف فوتها) إن فات بعذر، وإن خشي فوت جماعتها - على المعتمد -. وإذا فات بلا عذر فيجب تقديمه عليها.

 

“Sunnah mendahulukan melaksanakan shalat yang terlewat (Fa’itah) atas shalat yang hadir yang tidak khawatir habis waktunya. Hukum sunnah ini ketika memang shalat yang terlewat dikarenakan ada uzur, meskipun (ketika mendahulukan melaksanakan shalat yang terlewat) shalat yang hadir dikhawatirkan tidak dilaksanakan secara jamaah, menurut pendapat mu’tamad. Sedangkan jika shalat yang terlewat tidak dikarenakan adanya uzur, maka wajib mendahulukan shalat tersebut atas shalat yang hadir” (Syekh Zainuudin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 32)

 

Menjadi imam merupakan bagian dari komponen terlaksananya shalat jamaah, sehingga tatkala seseorang masih memiliki tanggungan shalat dan ia hendak mengimami shalat jamaah, maka dalam menghukumi hal demikian patut di-tafshil (dirinci). Jika tanggungan shalat yang tertinggal karena adanya uzur, maka ia melaksanakan shalat yang hadir dengan cara jamaah, baik menjadi imam ataupun makmum adalah hal yang diperbolehkan.

 

Sedangkan jika tanggungan shalat yang tertinggal tanpa adanya uzur, maka mendahulukan shalat yang hadir dengan cara berjamaah baik menjadi imam ataupun makmum adalah hal yang terlarang (haram), sebab ia wajib mendahulukan mengqadha’i shalat yang tertinggal terlebih dahulu daripada melaksanakan shalat yang hadir yang waktu pelaksanaannya masih panjang. Meskipun secara hukum wadh’i, shalat jamaah yang dilakukan dalam keadaan memiliki tanggungan shalat qadha’ yang ditinggalkan tanpa ada uzur tetap dihukumi sah. Sebab tidak semua hal yang diharamkan secara hukum taklifi akan berakibat pada tidak sahnya suatu ibadah, larangan yang menyebabkan rusaknya (tidak sah) suatu ibadah hanya berlaku ketika larangan tersebut tertuju pada dzat ibadah atau syarat sahnya ibadah.

 

Sedangkan dalam permasalahan ini, larangan tidak tertuju pada salah satu dari keduanya. Permasalahan ini sama seperti permasalahan shalat di tanah ghasaban. Meski melaksanakan shalat di tanah ghasaban adalah hal yang terlarang (haram), namun shalat tersebut tetap dihukumi sah. Seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab berikut:

 

الصلاة في الأرض المغصوبة حرام بالإجماع وصحيحة عندنا وعند الجمهور من الفقهاء وأصحاب الأصول

 

“Melaksanakan shalat di tanah ghasaban adalah haram menurut konsensus ulama. Namun shalat tersebut tetap dihukumi sah menurut pandangan kita (mazhab Syafi’) dan pandangan mayoritas ulama yang meliputi para ulama fikih dan ulama ushul” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 3, hal. 164).

 

Maka dapat disimpulkan bahwa mengimami shalat ketika masih memiliki tanggungan shalat adalah hal yang diperbolehkan dan shalatnya tetap dihukumi sah. Sedangkan jika ditinjau dari aspek mengakhirkan shalat qadha’ yang tertinggal tanpa adanya uzur maka hukum mengakhirkan tersebut dihukumi haram.

 

Bagi seseorang yang hendak menjadi imam seyogianya mendahulukan melaksanakan segala tanggungan shalat yang dimilikinya, terlebih ketika shalat tersebut ia tinggalkan tanpa adanya uzur. Dengan demikian imam tidak merasa terbebani dengan pikiran-pikiran lain dan pelaksanaan shalat berjamaah akan menjadi lebih sempurna. Wallahu a’lam.

 

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember