Warta

Zakat Di Indonesia Masih Konsumtif

Jumat, 15 Juli 2005 | 14:43 WIB

Jakarta, NU Online
Pengamat ekonomi Islam, Dra Umrotul Khasanah, MSi mengemukakan, dana yang dikumpulkan badan amil zakat (BAZ) maupun lembaga amil zakat (LAZ) saat ini belum selayaknya digunakan untuk kepentingan produktif, melainkan masih untuk konsumtif.
    
"Buktinya sekarang ini banyak dijumpai kasus busung lapar, meskipun hal itu bukan semata-mata karena kemiskinan. Selain itu kita juga banyak menjumpai orang mati di Jakarta ini karena ternyata sakit dan kelaparan," katanya seperti di kutip ANTARA saat berada di Surabaya, Jumat (15/7).
    
Ia mengemukakan, saat ini banyak banyak LAZ maupun BAZ yang mengendapkan dana yang terkumpul sebelum diserahkan kepada yang menggunakannya. Padahal praktek seperti itu bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh rasulullah Muhammad dulu.
    
"Di jaman nabi, kalau beliau dapat pemberian zakat saat shalat dhuha atau pagi hari, maka saat masuk shalat dzuhur zakat itu sudah habis diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya. Sesuai hasil penelitian saya, sekarang malah ada dana yang ngendap sampai satu tahun. Itu menyalahi syariah," katanya.
    
Lulusan pascasarjana UI Jakarta dalam bidang ekonomi Islam itu mengemukakan, saat ini masih banyak masyarakat yang membutuhkan makan segera akibat terlilit oleh kemiskinan, sehingga dana zakat harus segera disalurkan.
    
Dosen ekonomi Islam pada UIN Malang itu mengemukakan, kalau dana zakat itu hendak digunakan untuk keperluan produktif, maka seharusnya tidak hanya diputuskan oleh amil (pengelola), melainkan juga melibatkan orang yang juga berhak menerimanya.
    
"Ketentuannya itu kan yang berhak menerima zakat ada delapan golongan. Kalau hanya amil yang menentukan, maka yang tujuh golongan tidak berperan. Ini juga menyalahi syariah. Seharusnya ditentukan dulu siapa yang akan menerima zakat, kemudian mereka diajak bicara," katanya.
    
Persoalan lain dalam pengelolaan zakat adalah masih kentalnya aspek ideologis dalam hal penyalurannya. LAS atau BAZ yang dikelola kelompok tertentu hanya cenderung menyalurkannya kepada kelompok yang sama, sedangkan lainnya tidak kebagian.
    
"Karena itu kemudian ada fakir miskin yang mendapatkan jatah berlebih, sedangkan yang lain tidak mendapatkan sama sekali. Koordinasi antara lembaga penyalur zakat satu dengan lainnya juga lemah sehingga penyalurannya juga tidak merata," katanya.
    
Ia juga mengritik adanya lembaga amil zakat yang menggaji karyawannya atau manajemen dengan gaji besar, karena hal itu bertentangan dengan hakekat keamilan itu sendiri yang hanya sebagai pengumpul dan pengelola, bukan malah dijadikan mata pencaharian.
    
"Karena itu mestinya dalam UU zakat masalah-masalah seperti ini juga harus dimasukkan sehingga ada pemerataan dan aspek syariahnya juga tetap menjadi pegangan utama," katanya.(cih)


Terkait