Jakarta, NU Online
Pasangan capres/cawapres Wiranto-Solahudin Wahid hari Senin (2/8) secara resmi menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta kejelasan status 33 juta suara yang dinilai tidak jelas dan sah tidaknya surat edaran anggota KPU Anas Urbaningrum yang mengesahkan pencoblosan surat suara tembus.
"Saya legawa, tetapi masih ada persoalan-persoalan yang harus diselesaikan agar pemilu ini tidak cacat dan di kemudian hari tidak muncul tuntutan-tuntutan yang mengganggu kredibilitas pemilu yang kita laksanakan. Sebab kalau pemilu tidak kredibel, output-nya tidak legitimated," kata Wiranto di Jakarta, Minggu petang.
<>Sehubungan dengan rencana pertemuan dengan MK tersebut, Wiranto mengadakan pertemuan dengan tim hukumnya yang dipimpin oleh Yan Juanda SH.
Mantan Panglima TNI itu mengatakan pihaknya untuk sementara mengakui hasil penghitungan manual suara KPU dan tetap taat pada kesepakatan siap kalah dan siap menang yang disampaikan sebelum pelaksanaan pemilu. "Saya mengajukan permohonan penjelasan berbagai persoalan ke MK dan MA, apakah itu kecurangan, kesalahan atau pelanggaran. Semangat ini saya minta dihormati, dan bukan Wiranto tidak legawa," katanya.
Undang-undang, katanya, mengisyaratkan bahwa setelah penghitungan suara ada waktu tiga hari untuk menyatakan keberatan-keberatan dan 14 hari Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan permasalahan itu. "Saya katakan kepada para pendukung saya, mari kita bersabar dulu dan apa pun ada keputusan hukum dari MK atau MA akan kita hormati dan laksanakan," katanya.
Permintaan penjesalan itu, lanjutnya, untuk membela kepentingan rakyat yang telah memberikan suara agar suara itu real, tidak dimanipulasi dan diselewengkan. Sebagai contoh dikemukakan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, hirarki hukum yang tertinggi adalah UUD, baru UU, PP, Keppres, Kepmen, sampai Perda yang paling bawah. "Bagaimana mungkin sebuah surat edaran biasa dari KPU itu memarginalkan UU yang sudah dibuat. Ini terlalu jauh lompatan itu," katanya.
Surat Edaran No 1151/15 yang dibuat oleh anggota KPU Anas Urbaningrum dinilai sudah mematahkan UU 23/2003 mengenai pemilu, mengenai aturan pencoblosan. "UU Pemilu mengatakan jika ada lubang di luar kotak suara itu berarti surat suara tidak sah. Lubang di luar kotak itu tidak dijelaskan apa pun. Tiba-tiba ada lubang di luar kotak akibat tembus dinyatakan sah oleh satu surat yang dibuat anggota KPU Arnas Urbaningrum, bahkan bukan oleh Ketua KPU sendiri," kata Wiranto.
Akibatnya, lanjut Wiranto, yang terjadi adalah inkonsistensi penghitungan di KPPS/KPPS sehingga terjadi penghitungan suara di luar prosedur bahkan ada di rumah kepala kampung atau tempat lain yang bukan di TPS. "Ini aneh, gimana penjelasannya?" katanya mempertanyakan.
Surat edaran KPU itu hanyalah satu contoh dan masih banyak lagi yang dimintai penjelasan seperti surat suara pemilih dan hasil pencoblosan. Yan Juanda, SH menambahkan bahwa pihak Wiranto akan meminta penjelasan mengenai pelanggaran aturan-aturan oleh KPU.
"Kita tahu proses pemilu diatur oleh UU 23/2003 mengenai pilpres dan telah terjadi persoalan mendasar menyangkut hak asasi manusia yakni menyangkut hak seorang pemilih akibat keluarnya surat edaran Anas Urbaningrum," katanya.
Surat tersebut membenarkan pencoblosan tembus yang tadinya menurut aturan tidak sah menjadi sah. Akibatnya, menurut Yan Juanda, telah terjadi inkonsistensi di TPS-TPS. Ada yang melakukan penghitungan ulang kemudian mengesahkan hasilnya, ada yang tidak melakukan penghitungan ulang dan tidak mengesahkan hasilnya. "Akibat dari itu ada capres yang dirugikan dan diuntungkan. Itu intinya," kata Yan Juanda.
Yan mengatakan apabila terjadi inkonsistensi maka penyelesaiannya adalah dihitung ulang sesuai dengan pasal 70 ayat 1 UU Pemilu. Mekanismenya diatur dalam padal 72. "Jadi, hasil penghitungan suara yang sekarang ini belum final atau definitive," katanya.
Jika berpegang pada acuan KPU sendiri, katanya, perolehan suara dari lima pasangan capres itu sebanyak 118 juta suara, sedangkan pemilih yang sah adalah sebesar 155 juta suara, suara tidak sah adalah dua juta. Dengan demikian masih ada 33 juta suara yang tidak jelas statusnya. "Yang 33 juta itu suara siapa? Kita ingin jelas itu milik siapa?" demikian Yan Juanda.
(atr-/cih)