Jakarta, NU Online
Pengesahan UU Sumber Daya Air (SDA) kembali digugat untuk kedua kalinya. Sebanyak 16 organisasi mengajukan permohonan judicial review atas Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/7). Kali ini, gugatannya pun bukan lagi hanya berakitan dengan materi tetapi juga proses pembuatan UU tersebut.
Para penggugat di antaranya terdiri dari lembaga sosial dan pendidikan seperti Yayasan Padi Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), LP3M Al-Azhar, Yayasan Cakrawala Timur Madiun dan Federasi Serikat Petani Indonesia. Ada juga nama Yayasan Gita Pertiwi, Masyarakat Miskin Ibu Kota (UPC), Somasi NTB, Yayasan Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment, dan LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
<>Dalam permohonan judicial review tersebut, pemohon mempersoalkan proses pembuatan dan sebagian materi yang ada dalam UU. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Longgena Ginting, prosedur pengesahan Undang-Undang SDA menyalahi ketentuan Undang-Undang tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD serta Tata Tertib DPR. ”Pengambilan keputusan harusnya dilakukan dengan voting dan bukan musyawarah mufakat,” katanya.
Berdasarkan Pasal 192 Tata Tertib DPR, keputusan mufakat baru sah jika rapat dihadiri anggota dan unsur fraksi, serta yang terpenting ”disetujui oleh semua yang hadir”. Sedangkan fakta menunjukkan terdapat beberapa fraksi dan anggota DPR yang menolak pengesahan tersebut. Pemohon mencatat ada tujuh nama anggota Dewan yang menolak pengesahan yakni Prof. Astrid S Susanto, H Tb Soemandjaja, H Cecep Rukmana, Zulkifli Halim, Ismawan DS, Nurdiati Akma dan H Mutammimul ‘Ula.
Namun keputusan Sidang Paripurna Pengesahan RUU SDA menjadi Undang-Undang diklaim sebagai hasil mufakat. Selain prosedur, beberapa materi yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 40, 41 dan 45.
Keterlibatan Swasta
Pasal-pasal yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 tersebut memungkinkan keterlibatan swasta dalam pengelolaan air. Jika ini dilakukan maka dikhawatirkan akan mendorong peningkatan peran swasta sekaligus mengurangi peran negara dalam pengelolaan air.
Pasal ini juga dinilai mengizinkan keterlibatan swasta bukan hanya dalam bentuk penyediaan air minum, tetapi juga pengelolaan sumber-sumber air dan penyediaan air baku bagi irigasi pertanian. Undang-Undang No. 7/2004 ini juga tidak memberikan batasan kepemilikan swasta, termasuk swasta asing, dalam sektor pengelolaan air.
Untuk itu, para pemohon meminta agar MK menyatakan Undang-Undang SDA bertentangan dengan UUD’45 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Mereka juga meminta agar Undang-Undang tersebut dicabut dari Lembaran Negara.
Sebelumnya, Juni lalu, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha) juga mengajukan permohonan serupa. Mereka menilai banyak ketentuan Undang-undang SDA yang bertentangan dengan pembukaan dan isi UUD’45. (Sh/Cih)