Warta

Ulama Paling Bertanggungjawab Atas Krisis Multidimensi

Ahad, 3 April 2005 | 01:00 WIB

Cirebon, NU Online
Ulama sebenarnya merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas penurunan moralitas bangsa yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensi, kata Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)  KH Masdar Farid Mas’udi di Cirebon, Sabtu.

"Dalam sebuah hadis Nabi Muhamad saw diterangkan bahwa rusak moralitas umat itu merupakan tanggungjawab penguasa tetapi kesalahan itu bisa dilemparkan kepada para ulamanya," katanya pada Halaqoh Nasional "Peran Agama-agama untuk Kemanusiaan" di Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon.

<>

Karena 90 persen bangsa ini merupakan umat Islam maka maknanya, menurut Masdar, yang paling bertanggungjawab adalah ulama dan kyai yang membina pesantren-pesantren.

"Ini bukan logika liberal atau konservatif tetapi ini logika hadis tadi.  Memang ini pahit, tapi apa boleh buat," kata Masdar yang juga Ketua PBNU.

Ia menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong kemerosotan moral umat adalah karena para kyai sudah tidak lagi takut akan kematian dan lebih mencintai uang.

Selain itu, ada kebiasaan buruk di kalangan masyarakat dalam setiap kotbah yaitu seringkali mencari-cari kesalahan orang lain apakah yang berbeda agama ataupun berbeda partai dan jarang sekali yang mengkoreksi diri sendiri. "Begitu jelinya melihat kekurangan orang lain tetapi lemah dalam membaca kekurangan diri sendiri," katanya.

Oleh karena itu, Masdar mengajak umat Islam, untuk mulai memahami problem bangsa ini dan mengatasinya bersama-sama  karena belajar agama bukan hanya mempelajari bagaimana teks-teks agama itu dibaca tetapi juga bagaimana mengatasi problem kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya. 

"Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus 30 juz, tetapi sedikit demi sedikit sesuai dengan permasalahan yang saat itu. Ini artinya pemahaman Al Qur’an juga bertitik tolak dari pemahaman problem di tengah kita," katanya.

Menurut dia, problem yang perlu ditangani bersama-sama adalah kerusakan moral, kemiskinan, kebodohan, dan kerusakan lingkungan hidup, semuanya itu merupakan problem yang melintasi batas etnis dan agama.

Sementara berkaitan dengan munculnya konflik berbagai agama,  Romo Frans Magnis Suseno yang tampil sebagai pembicara Halaqoh mengatakan bahwa pimpinan agama  tidak dapat lepas dari tanggungjawab atas situasi negeri yang sering memunculkan konflik berbau agama.
"Meskipun bukan ajaran agama yang harus dipersalahkan namun kenyataan tidak dapat disangkal bahwa perbedaan agama dalam kenyataannya  menjadi salah satu unsur yang rawan konflik," katanya.

Oleh karena itu, kata Romo, di pundak para pemimpin agama itu terletak tanggungjawab untuk merekatkan kembali keutuhan bangsa yang mulai pudar ini.

Namun dilihat secara sosiologis, menurut Romo, konflik di berbagai tempat seperti Maluku dan Poso, terjadi bukan karena ajaran agama melainkan bersifat komunalistik dimana agama menjadi cantolan konflik itu.

Hadir pula pembicara lain pada seminar yang diikuti sekitar 150 peserta yaitu Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Budi Santoso Panuwijaya dan Ketua STAIN Cirebon Dr HM Imron Abdullah MAg.(ant/mkf)

 


 


Terkait