Jakarta, NU Online
Menjelang sore, langit mulai senja tapi sejumlah relawan kesehatan NU masih setia melayani pasien di barak sebuah pesantren kecil di pedalaman Pidie, kondisinya memperihatinkan. "Kami sedih dan hampir menangis menyaksikan mereka, sambil mengobati dalam hati saya merasa belum berbuat apa-apa, malu rasanya.." ungkap Nurrahman salah seorang relawan kesehatan PBNU yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam.
Hari itu Jum'at (24/2) Nurahman dan enam rekannya sesama dokter bertugas mengobati anak yatim dan santri di pondok pesantren Najmul Huda di pedalaman desa terpencil bernama Jambu Nawa Sakti di kota Pidie. Di pesantren itu Nurahman mendapati kondisinya sangat buruk, sanitasinya rusak, santrinya banyak terkena penyakit gatal, kispa. "Rata-rata kondisi pesantren yang kami datangi dalam kondisi memperihatinkan," ungkapnya kepada NU Online yang menemani kegiatannya beberapa waktu lalu usai keliling bertugas di Bireun.
<>Begitulah yang dilakukannya setiap hari, berkeliling dari satu pondok ke pondok lainnya di Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireun hingga pedalaman Pidie, yang dikenal sebagai sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Maklum jarak Pidie dari Banda Aceh ditempuh dengan waktu sekitar tujuh jam perjalanan, melewati perbukitan dan tebing yang curam. Dengan mengendarai mobil Ambulance bantuan kemanusiaan PBNU, tim kesehatan PBNU yang rata-rata masih berusia muda dan calon dokter ini bekerja siang dan malam merelakan waktunya untuk menolong sesama.
Setiap hari, tutur Nurrahman kurang lebih 150-200 pasien yang rata-rata anak yatim di pesantren kita tangani dengan Mobil Kesehatan Keliling PBNU yang lengkap dengan obat-obatan. Banyak keunikan dan keanehan yang kita hadapi, ada pasien dengan membawa luka yang cukup serius dan kondisi lukanya yang sangat buruk, ada anak yang kehilangan ayah ibunya, kondisi mereka tidak terurus dan sering sakit-sakitan, sungguh hati ini sangat terenyuh melihat mereka. Banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya, dari wajahnya kelihatan sekali kalau mereka sangat kehilangan, pernah saat aku ambil kamera untuk mengambil gambarnya, mereka tidak sanggup menahan air matanya, kemudian aku berikan susu dan biskuit. Aku pun tidak sanggup menahan air mataku. Sungguh kasihan, tapi apa yang bisa aku perbuat? Hanya ini saja yang aku bisa berikan.
"Menghayati semua itu saya bahagia bisa ikut bergabung dengan PBNU untuk menolong sesama saudara kita di Aceh, namun kadang saya merasa malu apa yang saya lakukan tidaklah sebanding dengan biaya saya kesini, setiap hari yang ada di benak saya bagaimana saya dapat mengobati dan menolong mereka sebanyak-banyaknya, saya malu berada di sini kalau saya tidak bekerja keras menolong mereka," cerita Nurrahman merendah suatu kali.
Nurrahman yang bekerja di RSI Demak bersama enam rekannya yang bertugas khusus sebagai tim kesehatan PBNU itu tiba seminggu setelah gempa dan tsunami melanda Banda Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 lalu. Kehadirannya saat ini adalah untuk yang kedua kalinya. Tim kesehatan PBNU yang berada di bawah supervisi ketua PBNU, H.M. Rozy Munir dan dikoordinir oleh mantan dirut PT.Phapros Dr. Bina Suhendra sudah memberangkatkan 2 gelombang dan masing-masing bertugas selama 2 minggu.
Setiba di Banda Aceh, tutur Nurahman, pemandangan pertama yang dilihat mereka adalah rumah hancur hampir di semua penjuru kota, reruntuhan bangunan yang berserakan bahkan juga bangkai kendaraan dan kapal nelayan yang teronggok tidak karuan, antrian di Rumah Sakit Kesdam--yang dekat dengan posko tim kesehatan PBNU di Kuta Alam-- dan raungan sirine ambulan langsung mengisi memori kepala saya membayangkan kondisi Aceh dalam keadaan darurat.
Tiba di posko, Nurrahman dan temannya Andi (24), Nurhasanah (21) Swanty (20) langsung disambut kehadiran pasien yang datang berobat membawa anaknya yang muntaber. Saya, aku Nurahman tidak sempat istirahat, padahal baru saja di jemput dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju posko di Kuta Alam, tapi memang beginilah tugas kami. "Masyarakat di sekitar sudah tahu PBNU membuka posko kesehatan gratis, jadi warga di sekitar Kuta Alam, Ulle Kareeng dan sekitarnya banyak yang berobat kepada kami," kata Nurrahman.
Pernah suatu kali, malam-malam disaat kami sudah mulai terlelap, karena lelah habis berkeliling di siang hari, pintu posko diketuk berkali-kali. Kami takut ada sesuatu yang gawat maklum beberapa hari sebelumnya sering terdengar bunyi letusan senjata di tengah malam. "Saya takut jangan-jangan ada orang yang bermaksud tidak baik, perlahan saya bukakan pintu, ternyata seorang ibu dengan anaknya yang sakit dan cepat butuh pertolongan," cerita Nurahman yang mengaku ingin terus menyumbangkan tenaga dan keahliannya di Aceh selama masih dibutuhkan.
Walaupun pernah terbersit sedikit rasa lelah, bagi Nurrahman, Andi dan para relawan lainnya yang ditugasi menolong dan mengobati pasien yang terkena musibah dahsyat tsunami, mereka ikhlas membantu saudara-saudaranya di Ace