Pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan pendidikan nasional. Pengakuan ini sebenarnya cukup menggembirakan bagi kalangan pesantren yang sebelumnya dianaktirikan. Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin besar bagi pesantren yang memungkinkannya untuk terus berkembang.
Namun adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan reduksi pengajaran agama.<>
PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga penddikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.
Ketua LP Maarif NU Dr M Toyyib dalam diskusi Dilema Pendidikan Pesantren: Antara Mempertahankan Karakteristik dan Menerima PP No 55/2007 di Jakarta, Kamis (29/5) menjelaskan PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri.
“PP ini sangat besar kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar nasional dan Ujian Nasional (UN),” katanya.
Toyyib menuturkan ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. “Kehawatirkan kami adalah adanya reduksi pengajaran agama,” paparnya.
Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. “Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan,” tukasnya.
Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut.
“Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi tuntunan,” ujarnya.
Ini berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun sama-sama diasramakan layaknya pesantren, motif dan tujuan pembelajarannya sangat berlainan sehingga bisa distandarkan dengan PP tersebut.
Diakuinya saat ini memang terjadi perubahan kebijakan terhadap orang-orang yang akan duduk dalam jabatan publik seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan.
“Kita harus bebas intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan sumbangan yang besar dalam pelayanan publik,” ujarnya.
Selain itu, Maarif NU selalu menganjurkan kepada orang tua agar tidak selalu menuntut pendidikan gratis, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang mengakibatkan hilangnya nilai-nilai moral masyarakat.
“Buat apa gratis sekolah tapi tidak bermutu. Buat apa bermutu, jika tidak bermoral. Hal ini karena standardnya adalah bahasa Inggris,” imbuhnya.
Sementara itu Pakar Pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad berpendapat kebijakan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa saat ini telah direduksi dengan tujuan-tujuan yang lebih kecil dalam sistem pendidikan nasional.
“UU Pendidikan Nasional perlu dirubah karena lebih layak disebut UU Persekolahan. Menterinya harus disebut menteri persekolahan, bukan menteri pendidikan,” ujarnya.
Winarno juga menyoroti perubahan motivasi para guru dalam mengajar. Jika pada masa lalu, mereka berdedikasi untuk mencerdaskan anak bangsa, saat ini mereka lebih berfikir hanya untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang besar. (mkf)