Warta

Santri Siaga Bencana Dilatih Melalui Kegiatan Outboud

Jumat, 6 November 2009 | 11:28 WIB

Jakarta, NU Online
Sebanyak 150 Santri Siaga Bencana (SSB) yang selama setahun ini sudah mendapatkan pembinaan dari Community Based Disaster Risk Management Nahdlatul Ulama (CBDRMNU) ditingkatkan ketrampilannya melalui latihan di lapangan atau outbound.

Latihan yang berlangsung selama tiga hari, pada 6-8 November ini berlangsung di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta dari lima kecamatan yang menjadi daerah sasaran program Pengurangan Risiko Bencana (PRB).<>

Kegiatan temu SSB tersebut diisi dengan apel kesiagaan SSB, aneka lomba asah keterampilan, olah raga, loka karya, praktek kesiapsiagaan (drill), kajian cepat, prosedur tetap dalam tanggap darurat dan simulasi rencana kontinjensi yang dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan semua anggota SSB.

Para peserta acara ini diharuskan sudah pernah mengikuti salah satu kegiatan training yang diselenggarakan oleh CBDRMNU (ToT, Field Trail, FGD DCS, Training of Facilitator, Praktek fasilitator, Implementasi Aksi, Training Guru/Ustadz).

Sultonul Huda dari Progrgam Management Unit CBDRMNU menjelaskan dalam kegiatan ini, para SSB melakukan upaya rencana kontijensi dalam keadaan bencana sehingga saat bencana benar-benar terjadi, mereka bisa merespon dengan cepat.

“Ini merupakan upaya melatih ketrampilan dan upaya penanganan kedaruratan sehingga siap ketika terjadi bencana tanpa bantuan siapapun,” katanya.

Wakil Walikota Jakarta Barat Sukarno mengemukakan Jakarta Barat merupakan daerah yang rawan terjadi bencana, terutama kebakaran dan banjir sehingga peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu aparat. Paling tidak untuk menyelamatkan diri sendiri dahulu, keluarga dan kemudian lingkungan sekitar.

Ia juga berharap agar masyarakat mampu melakukan inovasi untuk mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana penanganan bencana sehingga bisa meminimalisir korban.

Wawan, anggota Santri Siaga Bencana (SSB) dari pesantren Assidiqiyah juga sedang bisa mengikuti acara ini. Ia berharap kegiatan seperti ini lebih banyak diisi dengan praktek daripada teori. Ia mengaku sudah pernah membantu korban banjir di Trenggalek ketika menjadi santri di pesantren Babussalam Tulungagung. Diakuinya, antara teori dan praktek memang seringkali tidak sejalan. “Kalau disana, yang penting membantu apa yang bisa kita lakukan,” katanya.

Persoalan budaya juga menjadi kendala dalam penanganan bencana. Dikatakannya, jika di daerah, masyarakat membuka pintunya kepada para korban untuk memberi pertolongan, tetapi situasi di Jakarta, masyarakat malah menutup pintu dan mengurusi dirinya sendiri.

Selain praktek di lapangan, para peserta juga ada acara lokakarya dengan narasumber dari PMI dan Pemda DKI yang mengungkapkan langkah dan peran yang mereka lakukan ketika bencana terjadi. (mkf)


Terkait