Warta

Santri Pertama dari Peziarah

Senin, 23 Mei 2011 | 00:02 WIB

Kadilangu, NU Online
Barangkali sudah menjadi takdir, pada 1986 ada peziarah Sunan Kalijaga yang mampir ke mushola Kiai Muhsin. Si perantau ini meminta ijin ikut mengaji dan ingin nyantri padanya.

Merasa tak bisa menyediakan penginapan, Kiai Muhsin menolak pengembara itu. namin si tamu tetap ngeyel. Kukuh ingin nyantri padanya. Akhirnya, pemuda tersebut dipersilakan tidur di langgarnya. Dan lalu disuruh membuat gothakan  (bilik) dari anyaman bambu di dekat langgar. <>

Penerimaan itu ternyata mengundang kedatangan orang lain. Orang-orang muda dari Jawa Timur, Sumatera dan juga Jateng sendiri, usai ziarah wali mampir ke situ. Lalu menyatakan ingin meguru. Praktis, Kiai Muhsin kedatangan para santri. Namun tak setiap yang mampir dari ziarah dia terima jadi santri, sekarang. Sebab daya tampungnya terbatas. Maka terpaksa memakai seleksi, termasuk administrasi.

Setelah banyak santri, didapatkan pertolongan Gusti Allah kemudahan membangun madrasah. Pada 1987 hingga 1990, kiai Muhsin bisa membangun madrasah berdinding.

Seiring kebutuhan pendidikan, pada 1994 dibuatlah yayasan untuk mendapat ijin membuka sekolah formal. Nama Nahdhlatul Fata (artinya kebangkitan pemuda) pun dipilih. Untuk meneguhkan sejarahnya sebagai pesantren muda yang dikelola dan diisi anak-anak muda.

Kini, santrinya telah ada 400 orang. Sebanyak 150 diantaranya mukim di pondok. Seluruhnya mengikuti jadwal ngaji di pesantren dan madrasah. Kelasnya ada awwaliyah, wustho (menengah) dan ulya (tinggi). Ditambah adanya Taman Pendidikan Al-Qur'an  (TPQ) untuk usia TK maupun SD.

Mengingat gedungnya masih sedikit, madrasah Nahdlatul Fata bersistem rotasi. Yakni ruang kelasnya dipakai bergantian. Mulai pagi hingga jam 12 malam. Para ustad maupun ustadzahnya yang berjumlah 22 orang, bergilir mengajar dengan pembagian tugas sesuai kapasitas.

Sebagaimana umumnya pondok pesantren, ma’had Nahdlatul Fata mengajarkan kitab-kitab klasik dari ilmuwan Islam kelas dunia. Seluruh kitab populer zaman keemasan Islam diajarkan di sini. Diantaranya Fathul Muin, Al-Asbah wa Nadhoir, Kifayatul Akhyar, Tafsir Jalalain, Ihya Ulumiddin, Al-Hikam.

Metode ngajinya juga sama. Ada sorogan ada bandongan. Sorogan, yakni santri membaca kitab secara individual di hadapan kiai. Setoran hafalan juga dilakukan di depan kiai atau ustad. Sedangkan bandongan, seluruh santri mendengarkan pembacaan kitab oleh kiai, di aula pesantren. Semua menyimak sambil menulis makna kata yang disampaikan kiai di kitab beraksara Arab gundul.

Tentu saja, banyak aktivitas lain di dalam pesantren. Ada kegiatan musyawarah (membahas masalah dan berdebat ilmiah), latihan khitobah (pidato), mendendangkan sholawat dengan syair (rebana) dan kegiatan selingan lainnya. Termasuk olahraga dan kesenian. (bersambung)

Redaktur: Mukafi Niam
Kontributor:Muhammad Ichwan DS


Terkait