Warta

Santri Itu Pun Kembali Ceria..

Selasa, 1 Maret 2005 | 03:28 WIB

Banda Aceh, NU Online
Sengatan matahari siang yang mulai panas tidak menyurutkan semangat 15 santri usia SD untuk menendang dan menyundul bola di lapangan hijau samping halaman di pesantren Mahyaul Ulum, Sibreuh, Suka Makmur, Aceh Besar. Seperti layaknya pemain profesional, mereka terlihat serius saat menendang, menggiring dan menyundul bola di gawang lawan. Kehadiran sejumlah wartawan dengan moncong kameranya semakin memacu adrenalin anak-anak itu sehingga tambah semangat bermain.

“Beginilah kegiatan mereka selama dua minggu terakhir. Mereka diajak bermain dan berolahraga untuk melupakan trauma akibat gempa dan gelombang tsunami,” kata ketua dayah (pesantren-red) Teungku Muhammad Faishal M Ali kepada NU Online dalam kunjungan rombongan Tim PBNU Peduli Tsunami untuk memberikan bantuan ke beberapa pesantren di Aceh, Rabu (23/2) lalu.

<>

Sebelumnya, ujar teungku Faishal anak-anak tersebut kehilangan gairah, mereka sering menyendiri bahkan kalau malam hari sering menangis teringat sanak saudaranya yang hilang. Untunglah, sejak kunjungan pertama Tim PBNU yang kala itu di pimpin HM. Rozy Munir ke pesantren kami dengan memberikan bantuan makanan, fasilitas kesehatan dan alat bermain sepereti badminton, sepak bola dan bola voley dapat membangkitkan semangat mereka.

Melihat keceriaan anak-anak itu seperti menunjukkan mereka sudah melupakan pengalaman buruk pada 26 Desember 2004 itu. Tawa mereka begitu lepas, tanpa beban. Senyum senantiasa mengembang sepanjang permainan. Hidup mereka kini sebatang kara. Di pesantren ini lah mereka akan menghabiskan waktunya, entah sampai kapan dan tak tahu harus kemana. Maklumlah, di pesantren yang menampung sekitar 139 yatim piatu korban tsunami sebagian besar dari mereka telah kehilangan sanak keluarganya. Sebelum musibah, pesantren ini hanya menampung 86 santri di pondok. Kini jumlah santri tercatat 225 orang.

Salah seorang anak yang terlihat sangat ceria siang itu adalah Muhammad Hannan (11). Murid kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Budi Mesia Lamnoe itu terlihat sedang menanti dua temannya selesai bermain bulutangkis di lapangan darurat yang dibangun dekat pepohonan nyiur dekat bale-bale tempat mereka belajar mengaji. Jumlah raket yang terbatas membuat anak-anak itu harus mengantri.

Namun karena permainan tak kunjung selesai, Hannan akhirnya memutuskan untuk bermain sepakbola tak jauh dari tempat rekannya bermain bulu tangkis. Tidak terlihat kecemasan di wajah anak berkulit hitam itu. Padahal, laut itulah yang telah menggulung rumahnya, dan membuat bapaknya, Mansyur, menemui ajal. Hannan bersama bapaknya,dan seorang adiknya bisa selamat karena segera lari menjauhi laut ketika terdengar suara gemuruh. Namun ibu dan adiknya hanyut di bawa deras gelombang tsunami.

“Mamak tidak lari karena mengira itu suara tank. Kan rumah kami juga dekat dengan jalan raya. Mamak pikir ada tank lewat. Saat mau lari, sudah terlambat. Air sudah sampai ke rumah,” cerita Hannan dalam bahasa Aceh. Jenazah ibunya ditemukan di atap rumah.

Dari bilik pesantren, Hannan bersama teman-temannya setiap pagi harus menempuh perjalanan kaki hampir sejauh 1 kilometer untuk menjangkau sekolahnya, karena di pondok pesantren Mahyaul Ulum tidak ada sekolah formal. Terjangan tsunami mengakibatkan Hannan kehilangan seluruh pakaiannya. Baju sekolah tinggal satu potong, tanpa celana. Sampai saat ini, Hannan masih sekolah dengan pakaian bebas hasil sumbangan masyarakat untuk korban gempa dan tsunami. Untuk membeli pakaian baru, saat ini tentu saja tidak memungkinkan karena bapaknya yang bekerja sebagai petani, sejauh ini belum bisa bekerja kembali.

Teman main Hannan, Muhammad Iqbal dan Nazamudin juga tampak ceria di bale-bale pesantren kendati ia telah kehilangan Muhammad dan Kasiah. Nazamudin tinggal berama kakek dan neneknya itu setelah kedua orang tuanya bercerai. Rumah mereka hanya 300 meter dari bibir pantai. Gelombang tsunami menyebabkan kakek dan nenek Nazamudin meninggal dunia, setelah tidak mampu menyelamatkan diri dari gulungan gelombang tsunami. Kendati sempat lari, tetapi keduanya tidak sanggup mengalahkan kecepatan tsunami yang menderu seperti pesawat jumbo jet.

Pelajar kelas 6 MIN Budi Mesia itu tampak tidak lebih gembira dibanding Hannan. Dia bercerita dengan bahasa yang tidak lancar, juga ketika menceritakan kejadian tsunami dan perjuangan dirinya dengan naik becak hingga akhirnya selamat. "Malu," katanya dengan wajah agak tertunduk. Lain dengan Hannan  yang terlihat atraktif dan komunikatif mengungkapkan keinginannya. Dia juga pandai menyanyi, berpantun bahkan menciptakan lagu. Menyanyi dan bermain adalah salah satu cara untuk "membuhuh waktu" agar tidak terus teringat sanak saudara yang tewas akibat bencana. "Saya masih sering teringat mama serta suasana rumah apalagi kalau sendiri, misalnya menjelang tidur. Jadi, saya senang main bareng temen-temen,&quo


Terkait