Jakarta, NU Online
Setelah menunggu sekitar enam tahun, akhirnya Panitia Khusus Komisi VII DPR RI bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto membahas Rancangan Undang-Undang Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Anti-KDRT). Pihak pemerintah dan DPR sepakat, RUU tersebut akan dibahas secara maraton dengan target 8 September naskah akhir sudah ditandatangani.
Pada pembahasan hari kedua, Selasa (24/8), sempat terjadi perbedaan pendapat di antara anggota Pansus Komisi VII mengenai bahan pertimbangan adanya sebuah UU yang melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan.
<>Menurut versi DPR, pertimbangan kedua dibuatnya RUU-disepakati bernama Penghapusan KDRT-adalah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap eksistensi kemanusiaan serta bentuk diskriminasi, yang harus dihapus sesuai Konvensi Internasional maupun Deklarasi PBB tentang hak-ahak asasi manusia dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Dr Mariani dari Pansus menjelaskan, salah satu sebab muncul pertimbangan itu karena hukum Indonesia belum memiliki peraturan menyangkut KDRT. KUHP maupun KUHAP juga belum menampung seluruh KDRT. Maka masih perlu mencantumkan konvensi internasional yang mendesak penghapusan kekerasan tersebut.
Pencantuman Konvensi Internasional maupun Deklarasi PBB, dinilai beberapa anggota Pansus seperti Bondan dan Mustopo sebagai tak perlu. Pasalnya, perlindungan kepada perempuan terutama yang terikat perkawinan sudah diatur dalam hukum adat, budaya dan semua agama di Indonesia.
"Untuk apa ikut budaya Barat. Kita sudah punya hukum sendiri yang melindungi perempuan. Ada hukum adat dan hukum Islam. Kalau saya pukul istri saya lalu ia melapor ke orang lain, maka orang itu akan saya bunuh. Ini urusan intern dalam keluarga saya, untuk apa orang lain ikut urusan rumah tangga saya," tukas Mustopo dari Fraksi TNI/Polri.
Akhirnya pertimbangan kedua (dim nomor 5b) memakai versi pemerintah yang menghilangkan kata-kata sesuai Konvensi Internasional dan Deklarasi PBB.
Krusial
Kepada pers Sri Redjeki menyatakan, pemerintah sangat serius menginginkan RUU tersebut segera diundangkan. Ia minta masyarakat dan pers mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan kepada pemerintah untuk penyempurnaannya.
Ditanya soal tak dicantumkannya pasal mengenai kekerasan seksual (marital rape) dalam RUU versi pemerintah, Deputi Bidang Pengembangan dan Informasi Kementerian PP Irma Alamsyah Djaya Putra, menjawab pihaknya menerapkan prinsip kehati-hatian. "Pemaksaan hubungan seks antara suami dan istri jika bisa dibuktikan bisa masuk dalam tindak pidana, tetapi itu sulit diintervensi orang lain," tuturnya.
Sementara draf versi DPR pasal lima mengatur larangan tiap orang melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga berupa pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seks, pemaksaan hubungan seks dengan cara tak wajar, dan atau tak disukai, pemaksaan hubungan seks dengan orang lain untuk tujuan komersial, dan perusakan organ reproduksi perempuan. (kol/cih)